Jumat, 23 Juli 2010

Mengiring Malam I

Satu Putaran bulan
Syukur telah terlewatkan
Menggapai kebahagiaan
itulah impian dan tujuan

Termakan rindu tak bertuan
itulah nikmat tak tergantikan
tetaplah tersenyum untuk yang merindukan

Sabtu, 10 Juli 2010

PENIKMAT MALAM MENYENTUH BULAN




Serpihan Awal

Gelap merayap pada patahan-patahan langit, membagi tanda mata menyala dan menyalak, sebuah petir yang sengaja memelintir telinga. Awan-awan menggembung, sedikit menyentuh cakrawala kota Semarang yang mengayun denyut jantung yang kian cepat menemukan detakannya. Benang-benang angin menyapu tetes-tetes matanya yang tak terpelihara. Lapisan tanah liat tipis telah akrab dengan susunannya, terinjak oleh jeruji-jeruji hujan yang jatuh dari khayangan. Mengusir burung layang-layang linglung mencari jalan pulang.
Aku terdampar bersamanya di atap rumah, menguji hati untuk tumbuh dewasa. Ku lihat dia berdiri tak bersuara, menundukkan kepala tanpa berkata. Aku hanya bisa duduk menekuk kakiku, tak ingin mengganggunya yang sedang masuk dalam khayalan tingkat tinggi. Aku pun diam, hanya sesekali terbatuk-batuk untuk mencoba mencairkan suasana. Mungkin aku terlalu gaduh baginya, untuk sesuatu yang ia belum tahu. Sesekali aku menengoknya, matanya merah seperti menahan marah, tapi dia menagis. Kedua tangannya menggenggam, rasanya ia memendam kekesalan padaku yang amat dalam. Ku rasakan getaran kakinya di tempat aku duduk. Aku jelas di sampingnya, tapi aku rasa semakin lama semakin jauh jarakku dengannya.
Pakaian yang ku kenakan telah mengering , tapi dia pun masih enggan bicara padaku. Matanya masih memandang kosong ke arah timur laut, ke arah tujuan ku di hari esok. Tubuh ini rasanya sudah bosan menunggu tanpa ucapan sedikitpun darinya. Hanya tangis yang menjawab pandanganku terhadapnya. Aku beranjak, berharap ia mau rela memandangku. Tak ku sangka, ia masih tak mau menoleh.
“Ranti, katakanlah sesuatu untukku….aku hendak pergi tapi kau malah diam begini… ada apa denganmu?”
Sedikit ungkapan dariku yang terlisan hanya dalam batin.
Aku memilih melangkah sedikit demi sedikit untuk meninggalkannya yang masih terdiam, dengan harapan ia mau memanggilku. Tapi, ia masih saja berdiri terpaku. Mungkin ia sedang memikirkan kalimat pertamaku tadi yang terhenti oleh petir yang mengawali tangisnya. Ku lanjutkan langkah dengan menuruni anak tangga yang rasanya licin sekali, seolah menghadangku untuk meninggalkannya sendiri di atas sana. Satu-persatu anak tangga ku injak dengan penuh kehati-hatian dan harapan.
Semenit kemudian, aku sampai di luar pagar rumahnya yang hampir semua tertutup bunga rambat. ku bunyikan bel sepedaku berkali-kali untuk menarik perhatiannya. Begitu cantiknya dia, ketika ia palingkan muka dan melemparkan senyum terindahnya kepadaku, kemudian ia berteriak “pergilah dengan citamu dan akan ku iringi larimu dengan hatiku yang menunggu cerita cinta yang tertunda di masa lalu untuk masa depan, ketika kau dan aku saling berhadapan kembali”
Kemudian aku jawab “ aku akan jadi penikmat malam yang akan memandang bulan yang sama, ketika kaupun juga memandangnya”
Kayuhan kakiku terasa ringan meluncurkan pedal sepeda, untuk pulang berkemas dan bergegas pergi ke Surabaya mengikuti orang tua dan berusaha meraih cita di sana.













Tangisan Itu…



Minggu pertamaku bekerja sebagai pelayan kapal, aku hanya disibukkan untuk mencuci piring di dapur kapal sesekali aku disuruh Kepala Dapur untuk mengambil air minum di gladak kapal paling bawah tempat parkir kendaraan air. Tiap hari, dari pagi menjelang malam hanya itu yang harus lakukan untuk meraba profesi seorang pelayan kapal. Tentunya ini jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan 2 tahun lalu dan tak seperti apa yang dijanjikan pihak sekolah tinggi kepariwisataan di Surabaya itu. Dalam bayanganku begitu megah kapal pesiar yang berlabel bonafit yang akan menjadi tempat kerjaku nanti, tapi ternyata setelah lulus aku hanya ditempatkan di kapal feri penyeberangan Jawa-Kalimantan yang berpusat di Semarang. Memang kapalku ini termasuk kapal terbaik yang dimiliki oleh perusahaan tapi ini tetaplah jauh dari bayanganku sebelumnya.
Seperti hari- hari sebelumnya di kapal. Setelah jam kerjaku selesai , tiap tengah malam menjelang aku berusaha mendekatkan diri pada malam, mengenang ucapanku tiga tahun lalu. Aku berdiri di tepi gladak paling bawah kapal sedikit menikmati indahnya sinar bulan. Angin yang begitu deras menerpa membuat tanganku gemetar berpegangan pada besi kapal. Langit yang hitam seperti ingin bicara padaku bahwa malam ini hujan akan kembali menghampiri laut jawa.
Tangisan-tangisan kecil dari dalam bak sebuah truk yang dikerubuti terpal biru yang lusuh menyapaku di malam yang kian dingin. Truk itu tepat berhenti di depanku.
“Hei bung, kau lihat apa?!” bentak supir truk dengan logat bugisnya padaku.
“ Maaf, pak” jawabku singkat sembari menolehkan pandangan.
Aku hanya diam, sedikit terbersit dalam pikiranku sebuah keanehan. Entah apa, tapi kupastikan ini sebuah ketidakwajaran. Dalam sebuah truk yang seharusnya memuat bahan makanan kemungkinan diisi sekitar puluhan anak gadis dibawah umur. Tangisannya pun terdengar bersautan tapi hanya sayup-sayup karena tersapu angin laut.
Langkahku berpindah dari tepi gladak sedikit ke sudut tempat parkir, dekat dengan tumpukan kardus-kardus pakaian bekas yang akan dijual ke Kalimantan. Pikiranku masih tertarik dengan fenomena yang terjadi dalam truk itu sesekali aku tetap memperhatikan truk yag bercat kuning itu. Setelah beberapa jam aku menunggu kesempatan, sopir truk yang berperawakan tinggi besar dan berkumis tebal itu akhirnya tertidur pulas. Tak lama kemudian kernetnya pun ikut terlelap.
Suara-suara yang tiada henti itu mendorongku untuk mendekatinya. Sambil ku perhatikan sekeliling. Yang hanya ada barang-barang dagangan dan beberapa pedagang yang tidur menunggui dagangannya yang hampir busuk, langkah kakiku tertuju pada suara-suara yang semakin kuat terdengar dari bak truk. Setelah dekat, suara itu sekejap hilang dari pendengaranku. Perlahan ku buka terpal biru yang menutupinya, hanya terlihat tumpukan karung berisi sayur mayur, beras dan bahan makanan lainnya. Aku kembali memikirkan sebuah keanehan yang telah ku alami.
Sambil berjalan dengan sedikit linglung pertanda tak percaya dengan apa yang kurasakan, ku jauhi truk yang penuh misteri itu. Mencoba meraba jawaban misteri mala mini lewat loncatan jaringan neuron yang ada dalam otakku. Mungkin keanehan ini tidak bisa dibuka dengan indera-indera yang kentara, tapi mungkin hanya bisa dilihat lewat mata batin.
Ku sudahi pikiran yang mungkin bisa dikatakan “mblinger” ini dengan merebahkan diri di kursi panjang tempat istirahat para ABK kapal. Kupandangi lampu kapal yang berada tepat 2 meter di atasku, lampu kecil yang kelihatan usang dan seperti terpasang sudah lama itu masih terlihat terang. Sorot cahayanya menelusup jauh ke dalam mata. Menawarkan khayalan terbang khayangan mengingat sebuah kenangan. Tapi itu akhirnya ku abaikan saja, karena badan dan otak ini sudah tak kuasa untuk memijak alam khayal yang pasti akan membuat ketagihan untuk selalu meneruskan dan meneruskan kahayalan tentang kenangan. Memang susah untuk melupakan kata-kata yang sempat terlisan dalam sebuah perpisahan.
Hari terakhir sebelum sampai pelabuhan penyebrangan di Kalimantan. Hujan di tengah laut menyambut. Burung-burung kian jauh terbang ke utara menghindari gerimis kecil laut Jawa. Para nelayan pun seakan menjauh dari cakrawala, memacu pulang perahu motor dengan membawa tumpukan keranjang ikan segar hasil tangkapan tadi malam.
Pagi ini hanya kuhabiskan untuk mencuci sayur, piring dan mengambil air untuk keperluan para awak kapal dan penumpang VIP. Seperti hari-hari sebelumnya hanya itu yang kulakukan di atas kapal.
“Pak Atmo, adakah yang bisa aku lakukan selain mencuci piring dan mengambil air? Saya bosan tiap hanya itu yang saya lakukan.” keluhku pada nahkoda kapal yang sedang mengontrol kinerja para koki.
“oh kamu yang ABK baru itu ya?, maaf namanya siapa?
“iya pak, Saya Arya. ABK yang baru masuk minggu lalu” jawabku dengan senyum.
“ oya, Saya ingat. Kamu yang lulusan Surabaya itu ya? Anaknya pak Atmojo, keamanan pelabuhnan.
“benar sekali kata bapak, tapi kok bapak tahu mengenai ayah Saya?
“oh iya, dulu Saya teman sekelas bapakmu waktu di SMP, jadi Saya sudah lama kenal. Apalagi sekarang kerjanya sama-sama di bidang kelautan, sering bisnis bareng pula, jadi tambah akrab, wes kaya sedulur dhewe.hehehe”. jelas pak Atmo sambil menepuk pundakku.
“loh sudah seperti saudara,?’sedikit terheran.
“dek Arya sudah dulu ya kapan-kapan kita lanjutkan lagi, saya mau mengontrol bagian mesin kapal dulu, takut-takut nanti ada yang salah”.
Ku jawab hanya dengan senyuman dan sedikit tundukan kepala sebagai rasa hormat kepada atasan.
Hati ini kembali ciut dengan tidak terjawabnya pertanyaanku, Adakah yang bisa kulakukan selain mencuci dan mengambil air?
Sore hari keempat. aku masih saja disibukkan dengan pekerjaanku yang monoton itu. Keluhku hanya kusimpan dalam hati, karena aku sadar aku hanyalahABK yang baru yang belum punya hak lebih di kapal ini.
Jam kerjaku hari ini selesai, secara mendadak aku diinstruksikan oleh kepala dapur untuk mengantar makan malam untuk para pekerja di bagian mesin.
Pekerjaan antar-mengantar ini lah yang lazimnya kau jalani sebagai pramusaji lulusan dari akademi kepariwisataan, bukan mencuci piring dan mengambil air.
Makan malam dengan menu ingkung lengkap dengan sambal trasi dan lalapan, ditaruh dalam nampan anyaman rotan. Wangi panggangannya seketika itu pula menyebar ke seluruh ruang mesin kapal. Ditambah harumnya aroma wedang jahe yang begitu menyibakkan indra penciuman, melengkapi suasana malam yang kental akan suara debur ombak. Kutaruh sejajar lima piring bercorak bunga sepatu dan gelas bening bertuliskan D45.
Sengaja tak kubawakan perangkat sendok garpu, karena menurut Pak Yatmo kepala dapur yang sudah 5tahun bekerja, para petugas mesin suka muluk untuk menikmati makan malam yang tiap kali dihidangkan untuk mereka.
Sambutan yang penuh kehangatan langsung kurasakan ketika masuk dalam ruangan tempat para pekerja mesin beristirahat, yang dihiasi gantungan baju kotor yang berantakan berbau oli yang menyengat mengendap lama dalam ruangan penat. Baunya persis dan khas bengkel motor di sebelah rumah masa kecilku yang ku tinggal selepas SMA yang mungkin sekarang telah kumuh karena t ak pernah dirawat.
“Matur nuwun, sudah diantarkan makanannya” ucap salah sat orang pekerja padaku.
“nggeh pak, sama-sama” jawabku singkat.
Dari balik mesin kapal, tampak berjalan tergopoh-gopoh seorang kakek yang mengenakan celana pendek warna hitam dengan kemeja putih yang lusuh melekat di badan, ia terburu-buru mengambil segelas wedang jahe yang telah tersuguh. Diminumnya wedang jahe yang masih mengepulkan asap itu deengan cepat.
“uhuk…uhuk…huk…” kakek tua itu terbatuk dan memuntahkan wedang jahe karena kepanasan.
“yang pelan tho mbah, kalo minum…” kata salah seorang pekerja.
kakek itu tak menghiraukan perkataan dari rekan kerjannya itu. Ia malah berjalan mendekatiku yang masih menata piring-piring bekas makan siang tadi.
“ le, kamu ABK baru di kapal ini? Aku ndak pernah ketemu kamu sebelumnya” Tanya kakek itu padaku.
“nggih mbah, saya ABK baru disini, ini pelayaran perdana saya”
“benar dugaanku, namamu siapa le?”
“Arya mbah, Arya Putro Atmojo lengkapnya.”
Jawabku sambil tersenyum.
“Owh.. wajah dan matamu mirip penjaga Tanjung Mas le, namanya juga Atmojo.”
“beliau bapak Saya mbah, mbah kenal?”
“ yo kenal toh, hehe…, ya wes, ayo bareng-bareng makan disini dulu, biar akrab sama yang lain”
Ajakan kakek itu hanya bisa kubalas dengan senyum dan langkahan kaki untuk bergabung dengan lima pekerja mesin lainnya. Perkumpulan itu hanya membicarakan ikhwal-ikhwal yang jarang aku dengar, apalagi aku juga ikut membicarakannya. Hal-hal mengenai hubungan antara suami dan istri menjadi hal pokok yang hangat di mulut para perokok ini. Sambil bermain gaple ditemani wedang jahe mereka semangat sekali bercerita mengenai keluarganya. Masing-masing dari mereka bergantian mengisahkan tentang anak dan istri mereka yang telah ditinggal beberapa bulan bahkan ada yang sampai tahunan, entah ditinggal di pulau jawa ataupun Kalimantan. Perpisahan yang bisa dibilang cukup lama ini, membuat psikologi para pekerja mesin sedikit terganggagu.
“bini ku bunting!, kagak tau sekarang udeh nglahirin ape belum” celoteh salah seorang pekerja yang mengaku betawi asli.
“biarin aja kang, bojoku juga ndak tak urusin kok.
Dia bisa mbrojol sendiri tanpa aku” sahut salah satu yang lain.
“ kalian kurang parah, aku malah metengi bocah ndak tak kawini, tak tinggal ngapal di sini. Sekarang keluargane binggung nyari aku. Hahahahaha” sahut seorang lagi yang sepertinya tak pernah pulang.
Aku hanya diam, merasa dalam belenggu kata-kata yang saling menyahut, yang menyebutkan semua borok-borok yang ada di sekitarku. Suasana lebih parah terjadi, saat ku mulai beranjak pergi, mata-mata mereka seperti mengikutiku. Aku ingin menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan ini.
“ awak-awakmu ternyata sama saja, jan rak nggenah!, nek aku yo parah meneh.. bojoku tak tinggal anakku tak dol ning Kalimantan! Hahahhaa…” tawa salah seorang dari mereka yang tampak paling tua selain kakek tua tadi.
Pikiranku kembali tersulut pada sekam pemikiran tengah malam kemarin, setelah perkataan yang menyentuh hal penjualan anak., kucoba selami perkataan tersebut pikiran ku itu menarikku untuk kembali melihat isi truk misterius itu yang berisi tangisan-tangisan peradang pikirku. Perlahan kaki ini melangkah, tapi seseorang menarik kemeja dan menaruh tangan di pundak dari belakang, perlahan ku tolehkan kepala, terlihat tangan yang keriput dengan penuh bekas luka.
“pasti kamu bingung le, biarkan saja mereka. Mereka memang sudah edan. Mereka ndak punya gawean lain selain cerita-cerita yang aneh, seperti itu”
Meskipun telah ditenangkan, tetap saja pikiranku tidak tenang, terasa magnet kemisteriusan dalam truk itu semakin kuat menarikku. Dengan menghela nafas, kukumpulkan segenap keberanian untuk lebih dalam menggali informasi mengenai kejanggalan pada truk itu.
Tepat tengah malam, selepas mengambil sisa makanan dan piring kotor di ruang mesin, aku putuskan untuk melihat kembali truk misterius itu. Sesampainya di pintu masuk gladak paling bawah, tangisan itu kembali terdengar dengan sesekali panggilan kepada seseorang untuk minta tolong.
“aa…a…a…a…, mbak tolong aku, tolong aku…..”
Suara yang kemarin terdengar kurang jelas, sekarang seperti telah menyatu pada satu suara saja, suara pinta tolong. Jantung ini serasa mencapai puncak deguban tercepat, seolah aku akan menghadapi eksekusi gantung diri. Nafaskupun rasanya menipis, seperti tiada udara lagi yang bisa ku hirup ketika ku simak rintihan pinta tolong itu. Berkali-kali rintihan itu menusuk telingaku, hingga ku tak sabar untuk membuka misteri truk yang menangis itu.
Setelah satu kakiku masuk gladak, kuperhatikan sekeliling, di antara truk yang berjajar, tumpukan kardus dan karung makanan berjajar dengan rapi, di pojok dan di sela tumpukan para pedagang tengah tertidur, adapula pedangang yang masih sibuk mempersiapkan dagangan untuk nanti setibanya di sebrang.
Ku jejaki langkah yang sama seperti biasanya aku menikmati indahnya bulan. Tepat di sebelah truk, langkah ku terhenti, suara itu semakin kuat ketika aku coba mendekat. Sopir truk kuperhatikan masih sibuk didalam truk dengan minuman ditangan, sesekali ia muntahkan minumannya keluar jendela dan berkata-kata kotor pada kernetnya, kata-katanya pun tak karuan seperti orang gila. Mereka berdua tampaknya sedang mabuk minuman keras.
Ku manfaatkan keadaan mereka yang sedang mabuk dengan sedikit demi sedikit menyelinap di bagian belakang truk. Bak truk yang masih rapi dikerubuti terpal biru itu mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bau yang menyengat itu sedikit menghambatku untuk membuka semua bagian yang menutupi bak.
Seolah aku dipaksa rasa penasaranku, meski bau tetap kubuka terpal biru yang lusuh itu. Terlihat jelas tumpukan sayur mayur yang busuk dirubung lalat biru. Bau busuknya semakin menyeruak keluar, mungkin akan membangunkan seisi gladak yang tengah tertidur pulas. Sambil menutup hidung, kakiku beranjak naik memanjat, menginjak karungan kol yang telah membusuk. Ku buka dan ku geser karung-karung yang penuh lalat, namun belum kutemukan sumber suara itu. Bagian terluar truk terus ku geser satu persatu, dari tumpukan kol paling bawah, wortel, bawang merah dan tomat yang paling atas sudah ku bongkar ku jadikan tumpukannya sejajar, namun belum ada tanda-tanda suara itu berhenti. Aku semakin dalam masuk perguluman dengan bau, mendeteksi suara minta tolong yang belum mau berhenti dengan kedatanganku.
Setelah ku temukan sebuah kotak kayu yang bentuknya mirip peti harta karun yang ukuranya sama dengan peti mati, suara itu melirih. Peti itu membujur tepat mengisi lebar bak truk, di atasnya diletakkan kardus-kardus berisi mie instan yang sepertinya juga sudah kadaluarsa, terlihat pada label kadaluarsa di luar kardus yang bertuliskan 6 Juli 2001. Setelah semua kardus ku turunkan terlihatlah jelas bagian atas peti itu. Beruntunglah aku, peti sumber suara itu tak dikunci pemiliknya, secara leluasa bisa ku buka.
Terperanjat aku, ketika ku buka isinya yang tak kuduga sebelumnya. Seketika itu pula, nafasku tersedak, darah serasa berhenti mengalir di kepalaku.
“Astaughfirullah….” Ku ucapkan berkali-kali untuk menenangkan diri melihat mayat gadis kecil yang lehernya bergantung kalung emas berhuruf W yang mulut dan matanya masih membuka lebar.


Pulang
untuk Kecewa

Matahari sore melekat penat, mengikat keringat di badan dengan pakaian. Jalan kampungku yang dulu berbatu kini telah halus teraspal, angin yang bertiup sedang menghempas pasir-pasir kecil di pinggir jalan. Rumah-rumah tetangga masih seperti tiga tahun dulu, masih sederhana dengan pohon rambutan yang menghiasi halaman. Bengkel sepeda motor samping rumahku pun masih sama baunya, bau minyak rem dan oli khas bengkel kecil yang kala itu masih beberapa di kampungku. Keceriaan anak kecil yang berlarian dari sudut rumah satu ke sudut rumah yang lain bermain petak umpet menyambutku pulang setelah dua tahun pergi.
Bel sepeda Pak Trimo, tetanggaku yang juga bekerja sebagai pengantar koran membuyarkan kahayalan indahku tentang kampung Kuripan ini.

“Mas Arya ya?” sambil memberhentikan sepeda onthel
di sampingku dan melempar senyumnya hingga terlihat salah satu gigi peraknya.
“ nggih pak” jawabku dengan senyum kecil sambil berjabat tangan.
“ dari mana saja tho mas, kok baru kelihatan sekarang?, bajunya juga rapi, seperti pegawai saja,hehehe”
“ Arya melanjutkan sekolah di Surabaya pak, nderek bapak yang pindah tugas di sana.”
“ berarti pak Atmojo sekarang kerja di Suroboyo ya mas?” Tanya pak Trimo sambil membetulkan kaca matanya yang melorot.
“ sampun mboten, bapak dipindahkan lagi ke Tanjung Mas pak, tempat kerja bapak dari Arya masih kecil.”
“ owh.. begitu, nggih pun pak Trimo tak nganter koran sore dulu ke tempat pak Lurah ya mas, yang krasan di rumahnya sendiri….. hehehe”pamit pak Trimo dengan senyumnya yang khas itu.
“nggih, monggo pak” jawabku singkat.

Bertemu pak Trimo, seperti mengulang kenangan masa lalu. Dulu aku yang selalu mengambilkan Koran antaran dari pak Trimo untuk bapak. Kadang bapak mengajak pak Trimo mampir ke rumah untuk sekadar minum teh atau kopi susu jahe kesukaannya, sekadar bergurau berbincang berita-berita yang ada di Koran yang mereka baca bersama. Bagi bapak, pak Trimo adalah orang yang lucu dan bisa menghibur. Kata bapak, pak Trimo adalah teman yang ceria bisa menghibur semua orang yang ada di sekitarnya. Sewaktu ibu meninggal, pak Trimo lah teman bapak yang paling akhir menemani bapak di rumah. Karakter yang unik dan menyenangkan adalah kalimat terakhir bapak untuk menggambarkan sosok pak Trimo, sewaktu ku tanya mengenai pak Trimo dulu, sebelum pindah ke Surabaya.
Tas ransel di punggungku seperti mengajakku untuk masuk ke sebuah rumah, yang sebelumnya hanya ku pandangi dari tepi jalan. Ukiran kayu khas jepara yang menempel di dinding luar rumah masih tak berubah. Cat coklat yang menempel di tembok telah sedikit mengelupas. Pohon rambutan yang dulu tingginya sama denganku sekarang sudah melebihi tinggi atap rumah tetangga sebelah. Rumput-rumput kecil tumbuh padat merata di halaman, mengitari rumah masa kecilku ini. Jalan setapak berkerikil di halaman untuk masuk rumah, terlihat becek. Genangan airnya belum kering usai hujan tadi siang. Yang paling membujukku untuk masuk adalah suasana dalam ruangan yang sejuk, seperti memupuk rasa tentram hati ketika bersantai di sudut ruangan tengahnya, dengan duduk di dekat jendela bersandar di kursi peninggalan eyang, rasanya hidup yang berat bisa terasa lebih santai. Suasana itu seperti terapi penghilang stres alami bagiku , tentunya ala rumah idaman bapak.
Begitu masuk, pandanganku seketika tertuju pada sudut kanan rumah, tempat kursi eyang itu berada. Ku alihkan pandangan ke sudut kiri rumah, kamar tidurku yang mungil masih tepat ditempat.
“assalamualaikum…..” ku ucap salam sambil mengetuk pintu.
“walaikumsalam….” Terdengar suara wanita dari balik pintu ruangan tengah.
“Arya?” tanya eyang agak heran, seperti tak percaya dengan kedatanganku.
“nggih eyang putri” jawabku sembari tersenyum dan bergegas mencium tangan nenek.
“ gimana kabarnya le, tumben pulang ke Kuripan?”
“ Arya baik-baik saja, Eyang pripun?. pulang ke sini pengen nengok eyang sama dek Evi kok, Arya terakhir di sini kan 2 tahun lalu, jadi merasa kangen dengan suasana rumah dan kampung Kuripan”
“ istirahat dulu le, eyang ambilkan minum”
“inggih…”jawabku singkat sembari meletakkan tas ranselku di kursi.
Benar-benar belum begitu berubah rumahku ini, tiang penyangga rumah yang dulu sering aku gambari masih utuh dengan gambar warna warni khas anak kecil. Jam dinding klasik kesayangan eyang kakung juga masih terpajang rapi di sudut ruang tamu. Foto-foto saat keluarga masih lengkap tinggal di rumah ini pun masih utuh ditempat. Hanya yang agak berubah di bagian halaman yang pohon-pohonnya telah tumbuh lebat dan rumputnya kurang terpelihara dan tumbuh dimana-mana.
Hal ini bisa dimaklumi, karena yang tinggal di rumah hanya Eyang putri dan adikku Evi yang masih SD yang biaya hidupnya bergantung pada kiriman uang Bapak dan Bu lek yang di Bandung.
“Arya, Eyang buatkan teh poci hangat kesukaanmu, di minum ya….”suruh eyang sembari meletakkan cangkir di meja sampingku.
“inggih eyang putri…..”jawabku singkat sambil memegangi cangkir, khawatir tumpah kara eyang meletakkanya di tepi meja.
“Eyang ke belakang dulu nang, masaknya belum rampung, kenang istirahat dulu”
“inggih…”jawabku singkat dengan ku akhiri dengan senyum.
Sedikit aneh rasanya dan seperitnya aku salah tingkah bertemu eyang putri, terasa sedikit asing saja dengan nenek yang sejak kecil mengasuhku di rumah ini sepeninggal almarhum ibu. Beliau memandangku dengan pandangan yang sayu, serasa ingin memanjakan diriku yang telah lama tak ditemuinya. Kulitnya yang keriput, tetap terlihat lebih segar ketika senyumnya terkembang.
Setelah istirahat beberapa menit menikmati suasana rumah dari sudut kursi peninggalan eyang kakung, dengan ditemani segelas the poci buatan eyang, aku berkeliling rumah, mencoba menikmati kenangan yang selama dua tahun ini hanya terangan di pikiran. Selangkah demi selangkah, aku menjejakkan diri di hampir seluruh lantai yang tersusun dari kayu-kayu jati.
Angin sore menambah rasa kerinduan kepada kampung halaman, serasa kembali menjadi seorang anak kecil yang berkeliaran di halaman dan di belakang rumah, yang bermain kejar-kejaran dengan ayah, yang menangis sendiri sebab larinya terantuk batu kerikil. Langit jingga yang kupandang mengisyaratkan sebuah kenangan yang sedikit terlupakan. Tentang bulan yang sedikit waktu lagi akan hinggap dan menggantikan warna jingga di dinding dunia, aku teringat kala sore yang menggurah hati itu.
Sore yang berhias hujan deras, sore yang di mana aku pertama kalinya melihat Ranti diam seribu bahasa ketika ku utarakan niatku untuk meninggalkan kota ini. Sungguh begitu ingin menangis hati ini ketika ingatan itu tak sengaja memenuhi pikiranku sesaat. Tapi untuk kali ini, aku sengaja untuk mengingatnya. Janji itu terlanjur terucap dalam hatiku, untuk kembali bertemu Ranti selepas kerja dari kapal.
“kenang…kenang…”eyang putri memanggil dari dalam rumah.
“ Arya di belakang rumah Yang….”jawabku setengah teriak.
Suara eyang yang memanggil dari dalam rumah memaksaku untuk mengakhiri sapaan khayalku kepada Ranti.
“makan dulu… sudah eyang buatkan sayur bayam dan pecel lele kesukaanmu” suruh eyang sambil melambaikan tangan tanda memanggilku.
“ adikmu Evi sampun pulang nang… “ lanjut eyang setelah tak mendengar jawabanku.
Aku kembali ke rumah memenuhi panggilan eyang, yang tidak suka masakannya tak disentuh sedikitpun.
“Mas Arya…..!!!” teriak girang Evi, ketika melihat aku muncul dari balik pintu belakang rumah.
Ku jawab teriakan itu dengan senyum kecil yang menandakan kegembiraan bertemu dengan adik yang dulu mungil, kini sudah beranjak dewasa. Evi memeluk erat badan yang rasanya masih pegal ini, selepas menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari Surabaya dengan kapal laut.
Cerita-cerita yang lucu dari mulut dek Evi memecah kesunyian yang aku dapatkan semenjak masuk rumah. Tawa dan candanya menghiasi sore hariku yang lumayan begitu mengesankan.
Adzan magrib mushola yang tak jauh dari rumah memanggilku untuk kembali menjalani rutinitas sewaktu kecil.
Menjadi muadzin kecil dengan ikut eyang kakung yang kadang menjadi imam di mushola.
****
Malam yang megah datang menggugah lelapku, mengeringkan mimpi yang yang menggenang di alam bawah sadarku. Langit hitam yang terhampar di luar rumah, memaksaku memotong mimpi panjang yang sia-sia terbuang. Tentang cita-cita, keluarga, tentang bapak, ibu, eyang kakung dan eyang putri, dek Evi dan tentang Ranti yang entah kapan lagi bisa ku temui.
Ranti yang kini telah terbang, membungkus diri dalam keranjang dan dikirim kilat ke negeri seberang, entah kapan dia pulang membunuh rindu dan penantian tak berpalang. Inikah yang ku sebut “diriku” sebagai “Penikmat Malam”? ini belum terjawab dan tampaknya aku masih seperti dulu. Masih disebut “Penikmat Malam Belum Menyentuh Bulan”.

TAMAT

Tentang Penulis
WAHYU LANGGENG PRASTIYO,
lahir di Grobogan tanggal 10 Juli 1989. mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Menulis karya sastra, khususnya puisi adalah hal yang paling menyenangkan baginya, tapi pada kali ini dia ingin merambah ke dunia sastra yang lain yaitu novel.
Pria yang pernah aktif menjadi Fungsionaris Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia ini, telah menelurkan Kumpulan Puisi “Penikmat Malam”. “Pesan Suami Liar” dalam Sebuah Antologi Puisi, Cerpen dan Drama dan “Pesan Suami Liar Dalam Kumpulan Puisi: Nakal”. Novel “Penikmat Malam Menyentuh Bulan” adalah edisi pertama dari Trilogi Novel “Menembus Angan” yang direncanakan selesai ketika Ia akam lulus kuliah nanti.

Jumat, 23 Juli 2010

Mengiring Malam I

Satu Putaran bulan
Syukur telah terlewatkan
Menggapai kebahagiaan
itulah impian dan tujuan

Termakan rindu tak bertuan
itulah nikmat tak tergantikan
tetaplah tersenyum untuk yang merindukan

Sabtu, 10 Juli 2010

PENIKMAT MALAM MENYENTUH BULAN




Serpihan Awal

Gelap merayap pada patahan-patahan langit, membagi tanda mata menyala dan menyalak, sebuah petir yang sengaja memelintir telinga. Awan-awan menggembung, sedikit menyentuh cakrawala kota Semarang yang mengayun denyut jantung yang kian cepat menemukan detakannya. Benang-benang angin menyapu tetes-tetes matanya yang tak terpelihara. Lapisan tanah liat tipis telah akrab dengan susunannya, terinjak oleh jeruji-jeruji hujan yang jatuh dari khayangan. Mengusir burung layang-layang linglung mencari jalan pulang.
Aku terdampar bersamanya di atap rumah, menguji hati untuk tumbuh dewasa. Ku lihat dia berdiri tak bersuara, menundukkan kepala tanpa berkata. Aku hanya bisa duduk menekuk kakiku, tak ingin mengganggunya yang sedang masuk dalam khayalan tingkat tinggi. Aku pun diam, hanya sesekali terbatuk-batuk untuk mencoba mencairkan suasana. Mungkin aku terlalu gaduh baginya, untuk sesuatu yang ia belum tahu. Sesekali aku menengoknya, matanya merah seperti menahan marah, tapi dia menagis. Kedua tangannya menggenggam, rasanya ia memendam kekesalan padaku yang amat dalam. Ku rasakan getaran kakinya di tempat aku duduk. Aku jelas di sampingnya, tapi aku rasa semakin lama semakin jauh jarakku dengannya.
Pakaian yang ku kenakan telah mengering , tapi dia pun masih enggan bicara padaku. Matanya masih memandang kosong ke arah timur laut, ke arah tujuan ku di hari esok. Tubuh ini rasanya sudah bosan menunggu tanpa ucapan sedikitpun darinya. Hanya tangis yang menjawab pandanganku terhadapnya. Aku beranjak, berharap ia mau rela memandangku. Tak ku sangka, ia masih tak mau menoleh.
“Ranti, katakanlah sesuatu untukku….aku hendak pergi tapi kau malah diam begini… ada apa denganmu?”
Sedikit ungkapan dariku yang terlisan hanya dalam batin.
Aku memilih melangkah sedikit demi sedikit untuk meninggalkannya yang masih terdiam, dengan harapan ia mau memanggilku. Tapi, ia masih saja berdiri terpaku. Mungkin ia sedang memikirkan kalimat pertamaku tadi yang terhenti oleh petir yang mengawali tangisnya. Ku lanjutkan langkah dengan menuruni anak tangga yang rasanya licin sekali, seolah menghadangku untuk meninggalkannya sendiri di atas sana. Satu-persatu anak tangga ku injak dengan penuh kehati-hatian dan harapan.
Semenit kemudian, aku sampai di luar pagar rumahnya yang hampir semua tertutup bunga rambat. ku bunyikan bel sepedaku berkali-kali untuk menarik perhatiannya. Begitu cantiknya dia, ketika ia palingkan muka dan melemparkan senyum terindahnya kepadaku, kemudian ia berteriak “pergilah dengan citamu dan akan ku iringi larimu dengan hatiku yang menunggu cerita cinta yang tertunda di masa lalu untuk masa depan, ketika kau dan aku saling berhadapan kembali”
Kemudian aku jawab “ aku akan jadi penikmat malam yang akan memandang bulan yang sama, ketika kaupun juga memandangnya”
Kayuhan kakiku terasa ringan meluncurkan pedal sepeda, untuk pulang berkemas dan bergegas pergi ke Surabaya mengikuti orang tua dan berusaha meraih cita di sana.













Tangisan Itu…



Minggu pertamaku bekerja sebagai pelayan kapal, aku hanya disibukkan untuk mencuci piring di dapur kapal sesekali aku disuruh Kepala Dapur untuk mengambil air minum di gladak kapal paling bawah tempat parkir kendaraan air. Tiap hari, dari pagi menjelang malam hanya itu yang harus lakukan untuk meraba profesi seorang pelayan kapal. Tentunya ini jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan 2 tahun lalu dan tak seperti apa yang dijanjikan pihak sekolah tinggi kepariwisataan di Surabaya itu. Dalam bayanganku begitu megah kapal pesiar yang berlabel bonafit yang akan menjadi tempat kerjaku nanti, tapi ternyata setelah lulus aku hanya ditempatkan di kapal feri penyeberangan Jawa-Kalimantan yang berpusat di Semarang. Memang kapalku ini termasuk kapal terbaik yang dimiliki oleh perusahaan tapi ini tetaplah jauh dari bayanganku sebelumnya.
Seperti hari- hari sebelumnya di kapal. Setelah jam kerjaku selesai , tiap tengah malam menjelang aku berusaha mendekatkan diri pada malam, mengenang ucapanku tiga tahun lalu. Aku berdiri di tepi gladak paling bawah kapal sedikit menikmati indahnya sinar bulan. Angin yang begitu deras menerpa membuat tanganku gemetar berpegangan pada besi kapal. Langit yang hitam seperti ingin bicara padaku bahwa malam ini hujan akan kembali menghampiri laut jawa.
Tangisan-tangisan kecil dari dalam bak sebuah truk yang dikerubuti terpal biru yang lusuh menyapaku di malam yang kian dingin. Truk itu tepat berhenti di depanku.
“Hei bung, kau lihat apa?!” bentak supir truk dengan logat bugisnya padaku.
“ Maaf, pak” jawabku singkat sembari menolehkan pandangan.
Aku hanya diam, sedikit terbersit dalam pikiranku sebuah keanehan. Entah apa, tapi kupastikan ini sebuah ketidakwajaran. Dalam sebuah truk yang seharusnya memuat bahan makanan kemungkinan diisi sekitar puluhan anak gadis dibawah umur. Tangisannya pun terdengar bersautan tapi hanya sayup-sayup karena tersapu angin laut.
Langkahku berpindah dari tepi gladak sedikit ke sudut tempat parkir, dekat dengan tumpukan kardus-kardus pakaian bekas yang akan dijual ke Kalimantan. Pikiranku masih tertarik dengan fenomena yang terjadi dalam truk itu sesekali aku tetap memperhatikan truk yag bercat kuning itu. Setelah beberapa jam aku menunggu kesempatan, sopir truk yang berperawakan tinggi besar dan berkumis tebal itu akhirnya tertidur pulas. Tak lama kemudian kernetnya pun ikut terlelap.
Suara-suara yang tiada henti itu mendorongku untuk mendekatinya. Sambil ku perhatikan sekeliling. Yang hanya ada barang-barang dagangan dan beberapa pedagang yang tidur menunggui dagangannya yang hampir busuk, langkah kakiku tertuju pada suara-suara yang semakin kuat terdengar dari bak truk. Setelah dekat, suara itu sekejap hilang dari pendengaranku. Perlahan ku buka terpal biru yang menutupinya, hanya terlihat tumpukan karung berisi sayur mayur, beras dan bahan makanan lainnya. Aku kembali memikirkan sebuah keanehan yang telah ku alami.
Sambil berjalan dengan sedikit linglung pertanda tak percaya dengan apa yang kurasakan, ku jauhi truk yang penuh misteri itu. Mencoba meraba jawaban misteri mala mini lewat loncatan jaringan neuron yang ada dalam otakku. Mungkin keanehan ini tidak bisa dibuka dengan indera-indera yang kentara, tapi mungkin hanya bisa dilihat lewat mata batin.
Ku sudahi pikiran yang mungkin bisa dikatakan “mblinger” ini dengan merebahkan diri di kursi panjang tempat istirahat para ABK kapal. Kupandangi lampu kapal yang berada tepat 2 meter di atasku, lampu kecil yang kelihatan usang dan seperti terpasang sudah lama itu masih terlihat terang. Sorot cahayanya menelusup jauh ke dalam mata. Menawarkan khayalan terbang khayangan mengingat sebuah kenangan. Tapi itu akhirnya ku abaikan saja, karena badan dan otak ini sudah tak kuasa untuk memijak alam khayal yang pasti akan membuat ketagihan untuk selalu meneruskan dan meneruskan kahayalan tentang kenangan. Memang susah untuk melupakan kata-kata yang sempat terlisan dalam sebuah perpisahan.
Hari terakhir sebelum sampai pelabuhan penyebrangan di Kalimantan. Hujan di tengah laut menyambut. Burung-burung kian jauh terbang ke utara menghindari gerimis kecil laut Jawa. Para nelayan pun seakan menjauh dari cakrawala, memacu pulang perahu motor dengan membawa tumpukan keranjang ikan segar hasil tangkapan tadi malam.
Pagi ini hanya kuhabiskan untuk mencuci sayur, piring dan mengambil air untuk keperluan para awak kapal dan penumpang VIP. Seperti hari-hari sebelumnya hanya itu yang kulakukan di atas kapal.
“Pak Atmo, adakah yang bisa aku lakukan selain mencuci piring dan mengambil air? Saya bosan tiap hanya itu yang saya lakukan.” keluhku pada nahkoda kapal yang sedang mengontrol kinerja para koki.
“oh kamu yang ABK baru itu ya?, maaf namanya siapa?
“iya pak, Saya Arya. ABK yang baru masuk minggu lalu” jawabku dengan senyum.
“ oya, Saya ingat. Kamu yang lulusan Surabaya itu ya? Anaknya pak Atmojo, keamanan pelabuhnan.
“benar sekali kata bapak, tapi kok bapak tahu mengenai ayah Saya?
“oh iya, dulu Saya teman sekelas bapakmu waktu di SMP, jadi Saya sudah lama kenal. Apalagi sekarang kerjanya sama-sama di bidang kelautan, sering bisnis bareng pula, jadi tambah akrab, wes kaya sedulur dhewe.hehehe”. jelas pak Atmo sambil menepuk pundakku.
“loh sudah seperti saudara,?’sedikit terheran.
“dek Arya sudah dulu ya kapan-kapan kita lanjutkan lagi, saya mau mengontrol bagian mesin kapal dulu, takut-takut nanti ada yang salah”.
Ku jawab hanya dengan senyuman dan sedikit tundukan kepala sebagai rasa hormat kepada atasan.
Hati ini kembali ciut dengan tidak terjawabnya pertanyaanku, Adakah yang bisa kulakukan selain mencuci dan mengambil air?
Sore hari keempat. aku masih saja disibukkan dengan pekerjaanku yang monoton itu. Keluhku hanya kusimpan dalam hati, karena aku sadar aku hanyalahABK yang baru yang belum punya hak lebih di kapal ini.
Jam kerjaku hari ini selesai, secara mendadak aku diinstruksikan oleh kepala dapur untuk mengantar makan malam untuk para pekerja di bagian mesin.
Pekerjaan antar-mengantar ini lah yang lazimnya kau jalani sebagai pramusaji lulusan dari akademi kepariwisataan, bukan mencuci piring dan mengambil air.
Makan malam dengan menu ingkung lengkap dengan sambal trasi dan lalapan, ditaruh dalam nampan anyaman rotan. Wangi panggangannya seketika itu pula menyebar ke seluruh ruang mesin kapal. Ditambah harumnya aroma wedang jahe yang begitu menyibakkan indra penciuman, melengkapi suasana malam yang kental akan suara debur ombak. Kutaruh sejajar lima piring bercorak bunga sepatu dan gelas bening bertuliskan D45.
Sengaja tak kubawakan perangkat sendok garpu, karena menurut Pak Yatmo kepala dapur yang sudah 5tahun bekerja, para petugas mesin suka muluk untuk menikmati makan malam yang tiap kali dihidangkan untuk mereka.
Sambutan yang penuh kehangatan langsung kurasakan ketika masuk dalam ruangan tempat para pekerja mesin beristirahat, yang dihiasi gantungan baju kotor yang berantakan berbau oli yang menyengat mengendap lama dalam ruangan penat. Baunya persis dan khas bengkel motor di sebelah rumah masa kecilku yang ku tinggal selepas SMA yang mungkin sekarang telah kumuh karena t ak pernah dirawat.
“Matur nuwun, sudah diantarkan makanannya” ucap salah sat orang pekerja padaku.
“nggeh pak, sama-sama” jawabku singkat.
Dari balik mesin kapal, tampak berjalan tergopoh-gopoh seorang kakek yang mengenakan celana pendek warna hitam dengan kemeja putih yang lusuh melekat di badan, ia terburu-buru mengambil segelas wedang jahe yang telah tersuguh. Diminumnya wedang jahe yang masih mengepulkan asap itu deengan cepat.
“uhuk…uhuk…huk…” kakek tua itu terbatuk dan memuntahkan wedang jahe karena kepanasan.
“yang pelan tho mbah, kalo minum…” kata salah seorang pekerja.
kakek itu tak menghiraukan perkataan dari rekan kerjannya itu. Ia malah berjalan mendekatiku yang masih menata piring-piring bekas makan siang tadi.
“ le, kamu ABK baru di kapal ini? Aku ndak pernah ketemu kamu sebelumnya” Tanya kakek itu padaku.
“nggih mbah, saya ABK baru disini, ini pelayaran perdana saya”
“benar dugaanku, namamu siapa le?”
“Arya mbah, Arya Putro Atmojo lengkapnya.”
Jawabku sambil tersenyum.
“Owh.. wajah dan matamu mirip penjaga Tanjung Mas le, namanya juga Atmojo.”
“beliau bapak Saya mbah, mbah kenal?”
“ yo kenal toh, hehe…, ya wes, ayo bareng-bareng makan disini dulu, biar akrab sama yang lain”
Ajakan kakek itu hanya bisa kubalas dengan senyum dan langkahan kaki untuk bergabung dengan lima pekerja mesin lainnya. Perkumpulan itu hanya membicarakan ikhwal-ikhwal yang jarang aku dengar, apalagi aku juga ikut membicarakannya. Hal-hal mengenai hubungan antara suami dan istri menjadi hal pokok yang hangat di mulut para perokok ini. Sambil bermain gaple ditemani wedang jahe mereka semangat sekali bercerita mengenai keluarganya. Masing-masing dari mereka bergantian mengisahkan tentang anak dan istri mereka yang telah ditinggal beberapa bulan bahkan ada yang sampai tahunan, entah ditinggal di pulau jawa ataupun Kalimantan. Perpisahan yang bisa dibilang cukup lama ini, membuat psikologi para pekerja mesin sedikit terganggagu.
“bini ku bunting!, kagak tau sekarang udeh nglahirin ape belum” celoteh salah seorang pekerja yang mengaku betawi asli.
“biarin aja kang, bojoku juga ndak tak urusin kok.
Dia bisa mbrojol sendiri tanpa aku” sahut salah satu yang lain.
“ kalian kurang parah, aku malah metengi bocah ndak tak kawini, tak tinggal ngapal di sini. Sekarang keluargane binggung nyari aku. Hahahahaha” sahut seorang lagi yang sepertinya tak pernah pulang.
Aku hanya diam, merasa dalam belenggu kata-kata yang saling menyahut, yang menyebutkan semua borok-borok yang ada di sekitarku. Suasana lebih parah terjadi, saat ku mulai beranjak pergi, mata-mata mereka seperti mengikutiku. Aku ingin menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan ini.
“ awak-awakmu ternyata sama saja, jan rak nggenah!, nek aku yo parah meneh.. bojoku tak tinggal anakku tak dol ning Kalimantan! Hahahhaa…” tawa salah seorang dari mereka yang tampak paling tua selain kakek tua tadi.
Pikiranku kembali tersulut pada sekam pemikiran tengah malam kemarin, setelah perkataan yang menyentuh hal penjualan anak., kucoba selami perkataan tersebut pikiran ku itu menarikku untuk kembali melihat isi truk misterius itu yang berisi tangisan-tangisan peradang pikirku. Perlahan kaki ini melangkah, tapi seseorang menarik kemeja dan menaruh tangan di pundak dari belakang, perlahan ku tolehkan kepala, terlihat tangan yang keriput dengan penuh bekas luka.
“pasti kamu bingung le, biarkan saja mereka. Mereka memang sudah edan. Mereka ndak punya gawean lain selain cerita-cerita yang aneh, seperti itu”
Meskipun telah ditenangkan, tetap saja pikiranku tidak tenang, terasa magnet kemisteriusan dalam truk itu semakin kuat menarikku. Dengan menghela nafas, kukumpulkan segenap keberanian untuk lebih dalam menggali informasi mengenai kejanggalan pada truk itu.
Tepat tengah malam, selepas mengambil sisa makanan dan piring kotor di ruang mesin, aku putuskan untuk melihat kembali truk misterius itu. Sesampainya di pintu masuk gladak paling bawah, tangisan itu kembali terdengar dengan sesekali panggilan kepada seseorang untuk minta tolong.
“aa…a…a…a…, mbak tolong aku, tolong aku…..”
Suara yang kemarin terdengar kurang jelas, sekarang seperti telah menyatu pada satu suara saja, suara pinta tolong. Jantung ini serasa mencapai puncak deguban tercepat, seolah aku akan menghadapi eksekusi gantung diri. Nafaskupun rasanya menipis, seperti tiada udara lagi yang bisa ku hirup ketika ku simak rintihan pinta tolong itu. Berkali-kali rintihan itu menusuk telingaku, hingga ku tak sabar untuk membuka misteri truk yang menangis itu.
Setelah satu kakiku masuk gladak, kuperhatikan sekeliling, di antara truk yang berjajar, tumpukan kardus dan karung makanan berjajar dengan rapi, di pojok dan di sela tumpukan para pedagang tengah tertidur, adapula pedangang yang masih sibuk mempersiapkan dagangan untuk nanti setibanya di sebrang.
Ku jejaki langkah yang sama seperti biasanya aku menikmati indahnya bulan. Tepat di sebelah truk, langkah ku terhenti, suara itu semakin kuat ketika aku coba mendekat. Sopir truk kuperhatikan masih sibuk didalam truk dengan minuman ditangan, sesekali ia muntahkan minumannya keluar jendela dan berkata-kata kotor pada kernetnya, kata-katanya pun tak karuan seperti orang gila. Mereka berdua tampaknya sedang mabuk minuman keras.
Ku manfaatkan keadaan mereka yang sedang mabuk dengan sedikit demi sedikit menyelinap di bagian belakang truk. Bak truk yang masih rapi dikerubuti terpal biru itu mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bau yang menyengat itu sedikit menghambatku untuk membuka semua bagian yang menutupi bak.
Seolah aku dipaksa rasa penasaranku, meski bau tetap kubuka terpal biru yang lusuh itu. Terlihat jelas tumpukan sayur mayur yang busuk dirubung lalat biru. Bau busuknya semakin menyeruak keluar, mungkin akan membangunkan seisi gladak yang tengah tertidur pulas. Sambil menutup hidung, kakiku beranjak naik memanjat, menginjak karungan kol yang telah membusuk. Ku buka dan ku geser karung-karung yang penuh lalat, namun belum kutemukan sumber suara itu. Bagian terluar truk terus ku geser satu persatu, dari tumpukan kol paling bawah, wortel, bawang merah dan tomat yang paling atas sudah ku bongkar ku jadikan tumpukannya sejajar, namun belum ada tanda-tanda suara itu berhenti. Aku semakin dalam masuk perguluman dengan bau, mendeteksi suara minta tolong yang belum mau berhenti dengan kedatanganku.
Setelah ku temukan sebuah kotak kayu yang bentuknya mirip peti harta karun yang ukuranya sama dengan peti mati, suara itu melirih. Peti itu membujur tepat mengisi lebar bak truk, di atasnya diletakkan kardus-kardus berisi mie instan yang sepertinya juga sudah kadaluarsa, terlihat pada label kadaluarsa di luar kardus yang bertuliskan 6 Juli 2001. Setelah semua kardus ku turunkan terlihatlah jelas bagian atas peti itu. Beruntunglah aku, peti sumber suara itu tak dikunci pemiliknya, secara leluasa bisa ku buka.
Terperanjat aku, ketika ku buka isinya yang tak kuduga sebelumnya. Seketika itu pula, nafasku tersedak, darah serasa berhenti mengalir di kepalaku.
“Astaughfirullah….” Ku ucapkan berkali-kali untuk menenangkan diri melihat mayat gadis kecil yang lehernya bergantung kalung emas berhuruf W yang mulut dan matanya masih membuka lebar.


Pulang
untuk Kecewa

Matahari sore melekat penat, mengikat keringat di badan dengan pakaian. Jalan kampungku yang dulu berbatu kini telah halus teraspal, angin yang bertiup sedang menghempas pasir-pasir kecil di pinggir jalan. Rumah-rumah tetangga masih seperti tiga tahun dulu, masih sederhana dengan pohon rambutan yang menghiasi halaman. Bengkel sepeda motor samping rumahku pun masih sama baunya, bau minyak rem dan oli khas bengkel kecil yang kala itu masih beberapa di kampungku. Keceriaan anak kecil yang berlarian dari sudut rumah satu ke sudut rumah yang lain bermain petak umpet menyambutku pulang setelah dua tahun pergi.
Bel sepeda Pak Trimo, tetanggaku yang juga bekerja sebagai pengantar koran membuyarkan kahayalan indahku tentang kampung Kuripan ini.

“Mas Arya ya?” sambil memberhentikan sepeda onthel
di sampingku dan melempar senyumnya hingga terlihat salah satu gigi peraknya.
“ nggih pak” jawabku dengan senyum kecil sambil berjabat tangan.
“ dari mana saja tho mas, kok baru kelihatan sekarang?, bajunya juga rapi, seperti pegawai saja,hehehe”
“ Arya melanjutkan sekolah di Surabaya pak, nderek bapak yang pindah tugas di sana.”
“ berarti pak Atmojo sekarang kerja di Suroboyo ya mas?” Tanya pak Trimo sambil membetulkan kaca matanya yang melorot.
“ sampun mboten, bapak dipindahkan lagi ke Tanjung Mas pak, tempat kerja bapak dari Arya masih kecil.”
“ owh.. begitu, nggih pun pak Trimo tak nganter koran sore dulu ke tempat pak Lurah ya mas, yang krasan di rumahnya sendiri….. hehehe”pamit pak Trimo dengan senyumnya yang khas itu.
“nggih, monggo pak” jawabku singkat.

Bertemu pak Trimo, seperti mengulang kenangan masa lalu. Dulu aku yang selalu mengambilkan Koran antaran dari pak Trimo untuk bapak. Kadang bapak mengajak pak Trimo mampir ke rumah untuk sekadar minum teh atau kopi susu jahe kesukaannya, sekadar bergurau berbincang berita-berita yang ada di Koran yang mereka baca bersama. Bagi bapak, pak Trimo adalah orang yang lucu dan bisa menghibur. Kata bapak, pak Trimo adalah teman yang ceria bisa menghibur semua orang yang ada di sekitarnya. Sewaktu ibu meninggal, pak Trimo lah teman bapak yang paling akhir menemani bapak di rumah. Karakter yang unik dan menyenangkan adalah kalimat terakhir bapak untuk menggambarkan sosok pak Trimo, sewaktu ku tanya mengenai pak Trimo dulu, sebelum pindah ke Surabaya.
Tas ransel di punggungku seperti mengajakku untuk masuk ke sebuah rumah, yang sebelumnya hanya ku pandangi dari tepi jalan. Ukiran kayu khas jepara yang menempel di dinding luar rumah masih tak berubah. Cat coklat yang menempel di tembok telah sedikit mengelupas. Pohon rambutan yang dulu tingginya sama denganku sekarang sudah melebihi tinggi atap rumah tetangga sebelah. Rumput-rumput kecil tumbuh padat merata di halaman, mengitari rumah masa kecilku ini. Jalan setapak berkerikil di halaman untuk masuk rumah, terlihat becek. Genangan airnya belum kering usai hujan tadi siang. Yang paling membujukku untuk masuk adalah suasana dalam ruangan yang sejuk, seperti memupuk rasa tentram hati ketika bersantai di sudut ruangan tengahnya, dengan duduk di dekat jendela bersandar di kursi peninggalan eyang, rasanya hidup yang berat bisa terasa lebih santai. Suasana itu seperti terapi penghilang stres alami bagiku , tentunya ala rumah idaman bapak.
Begitu masuk, pandanganku seketika tertuju pada sudut kanan rumah, tempat kursi eyang itu berada. Ku alihkan pandangan ke sudut kiri rumah, kamar tidurku yang mungil masih tepat ditempat.
“assalamualaikum…..” ku ucap salam sambil mengetuk pintu.
“walaikumsalam….” Terdengar suara wanita dari balik pintu ruangan tengah.
“Arya?” tanya eyang agak heran, seperti tak percaya dengan kedatanganku.
“nggih eyang putri” jawabku sembari tersenyum dan bergegas mencium tangan nenek.
“ gimana kabarnya le, tumben pulang ke Kuripan?”
“ Arya baik-baik saja, Eyang pripun?. pulang ke sini pengen nengok eyang sama dek Evi kok, Arya terakhir di sini kan 2 tahun lalu, jadi merasa kangen dengan suasana rumah dan kampung Kuripan”
“ istirahat dulu le, eyang ambilkan minum”
“inggih…”jawabku singkat sembari meletakkan tas ranselku di kursi.
Benar-benar belum begitu berubah rumahku ini, tiang penyangga rumah yang dulu sering aku gambari masih utuh dengan gambar warna warni khas anak kecil. Jam dinding klasik kesayangan eyang kakung juga masih terpajang rapi di sudut ruang tamu. Foto-foto saat keluarga masih lengkap tinggal di rumah ini pun masih utuh ditempat. Hanya yang agak berubah di bagian halaman yang pohon-pohonnya telah tumbuh lebat dan rumputnya kurang terpelihara dan tumbuh dimana-mana.
Hal ini bisa dimaklumi, karena yang tinggal di rumah hanya Eyang putri dan adikku Evi yang masih SD yang biaya hidupnya bergantung pada kiriman uang Bapak dan Bu lek yang di Bandung.
“Arya, Eyang buatkan teh poci hangat kesukaanmu, di minum ya….”suruh eyang sembari meletakkan cangkir di meja sampingku.
“inggih eyang putri…..”jawabku singkat sambil memegangi cangkir, khawatir tumpah kara eyang meletakkanya di tepi meja.
“Eyang ke belakang dulu nang, masaknya belum rampung, kenang istirahat dulu”
“inggih…”jawabku singkat dengan ku akhiri dengan senyum.
Sedikit aneh rasanya dan seperitnya aku salah tingkah bertemu eyang putri, terasa sedikit asing saja dengan nenek yang sejak kecil mengasuhku di rumah ini sepeninggal almarhum ibu. Beliau memandangku dengan pandangan yang sayu, serasa ingin memanjakan diriku yang telah lama tak ditemuinya. Kulitnya yang keriput, tetap terlihat lebih segar ketika senyumnya terkembang.
Setelah istirahat beberapa menit menikmati suasana rumah dari sudut kursi peninggalan eyang kakung, dengan ditemani segelas the poci buatan eyang, aku berkeliling rumah, mencoba menikmati kenangan yang selama dua tahun ini hanya terangan di pikiran. Selangkah demi selangkah, aku menjejakkan diri di hampir seluruh lantai yang tersusun dari kayu-kayu jati.
Angin sore menambah rasa kerinduan kepada kampung halaman, serasa kembali menjadi seorang anak kecil yang berkeliaran di halaman dan di belakang rumah, yang bermain kejar-kejaran dengan ayah, yang menangis sendiri sebab larinya terantuk batu kerikil. Langit jingga yang kupandang mengisyaratkan sebuah kenangan yang sedikit terlupakan. Tentang bulan yang sedikit waktu lagi akan hinggap dan menggantikan warna jingga di dinding dunia, aku teringat kala sore yang menggurah hati itu.
Sore yang berhias hujan deras, sore yang di mana aku pertama kalinya melihat Ranti diam seribu bahasa ketika ku utarakan niatku untuk meninggalkan kota ini. Sungguh begitu ingin menangis hati ini ketika ingatan itu tak sengaja memenuhi pikiranku sesaat. Tapi untuk kali ini, aku sengaja untuk mengingatnya. Janji itu terlanjur terucap dalam hatiku, untuk kembali bertemu Ranti selepas kerja dari kapal.
“kenang…kenang…”eyang putri memanggil dari dalam rumah.
“ Arya di belakang rumah Yang….”jawabku setengah teriak.
Suara eyang yang memanggil dari dalam rumah memaksaku untuk mengakhiri sapaan khayalku kepada Ranti.
“makan dulu… sudah eyang buatkan sayur bayam dan pecel lele kesukaanmu” suruh eyang sambil melambaikan tangan tanda memanggilku.
“ adikmu Evi sampun pulang nang… “ lanjut eyang setelah tak mendengar jawabanku.
Aku kembali ke rumah memenuhi panggilan eyang, yang tidak suka masakannya tak disentuh sedikitpun.
“Mas Arya…..!!!” teriak girang Evi, ketika melihat aku muncul dari balik pintu belakang rumah.
Ku jawab teriakan itu dengan senyum kecil yang menandakan kegembiraan bertemu dengan adik yang dulu mungil, kini sudah beranjak dewasa. Evi memeluk erat badan yang rasanya masih pegal ini, selepas menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari Surabaya dengan kapal laut.
Cerita-cerita yang lucu dari mulut dek Evi memecah kesunyian yang aku dapatkan semenjak masuk rumah. Tawa dan candanya menghiasi sore hariku yang lumayan begitu mengesankan.
Adzan magrib mushola yang tak jauh dari rumah memanggilku untuk kembali menjalani rutinitas sewaktu kecil.
Menjadi muadzin kecil dengan ikut eyang kakung yang kadang menjadi imam di mushola.
****
Malam yang megah datang menggugah lelapku, mengeringkan mimpi yang yang menggenang di alam bawah sadarku. Langit hitam yang terhampar di luar rumah, memaksaku memotong mimpi panjang yang sia-sia terbuang. Tentang cita-cita, keluarga, tentang bapak, ibu, eyang kakung dan eyang putri, dek Evi dan tentang Ranti yang entah kapan lagi bisa ku temui.
Ranti yang kini telah terbang, membungkus diri dalam keranjang dan dikirim kilat ke negeri seberang, entah kapan dia pulang membunuh rindu dan penantian tak berpalang. Inikah yang ku sebut “diriku” sebagai “Penikmat Malam”? ini belum terjawab dan tampaknya aku masih seperti dulu. Masih disebut “Penikmat Malam Belum Menyentuh Bulan”.

TAMAT

Tentang Penulis
WAHYU LANGGENG PRASTIYO,
lahir di Grobogan tanggal 10 Juli 1989. mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Menulis karya sastra, khususnya puisi adalah hal yang paling menyenangkan baginya, tapi pada kali ini dia ingin merambah ke dunia sastra yang lain yaitu novel.
Pria yang pernah aktif menjadi Fungsionaris Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia ini, telah menelurkan Kumpulan Puisi “Penikmat Malam”. “Pesan Suami Liar” dalam Sebuah Antologi Puisi, Cerpen dan Drama dan “Pesan Suami Liar Dalam Kumpulan Puisi: Nakal”. Novel “Penikmat Malam Menyentuh Bulan” adalah edisi pertama dari Trilogi Novel “Menembus Angan” yang direncanakan selesai ketika Ia akam lulus kuliah nanti.