Jumat, 26 November 2010

Jelmaan Taring

lebih merinding,
kali ini pikiran saya lebih pening
seperti ditagih jodoh yang katanya penting

dua pilihan jelmaan taring
meggigit kedua belah otakku
melemahkan daya logika
antara solidaritas dan egoisitas
antara prioritas dan realitas

lebih ingin meringkas cerita rasanya,
dari pada mengingat pilihan yang menguras tanya

Selasa, 23 November 2010

Kuceritakan Mewah

melingkar pada tuas kasar
menindih badan, segera gusar

kuceritakan mewah
perjalanan seribu getar
lewati keributan telanjang hutan
hutan bualan lebih jadi pilihan
pilihan keindahan para pencari abdian

kuceritakan mewah
lintari kecemburuan antara pasir dan air
pasir air yang bergumul memasung pandangan
pandangan pasrah sekadar memelas
meminta keranjang siang menghantar

kuucap dengan mewah,
mantra pembunuh rasa lelah
beredar memudar di darah
kemudian pecah

Kamis, 18 November 2010

Aku Lupa Pulang,

aku lupa pulang,
sejenak bisa berulang hilang

penat seikat tapi nikmat
mengikat neraca hegemoni memuncak
untuk tidak naik turun berikan bercak

aku lupa pulang,
sejenak bisa berulang pandang

lebit singkat pekan bergulat
menimang pagi sebagai anak
sedikit liar untuk tersedak
meminum susu berkantung perak

aku lupa pulang,
sejenak bisa tepikan terang

bukan menandai para ilalang
tapi mengelusnya hingga temeram
aku tertidur diatas tikar hitam
menampar dingin yang menyingkap perlahan

aku lupa pulang,
buatkan aku secawan sampan
untuk kudayung menguras lautan

Sabtu, 16 Oktober 2010

Kumpulan Pantu "7ABC" Spega Ungaran 2010/2011



7A

Pergi ke Spanyol naik kuda lumping
Pulang-pulang membawa bakmi
Hatiku hancur berkeping-keping
Melihat pak Langgeng meninggalkan kami

(Wahyu Setiabudi)


Menunggu angkutan di Palang
Di Palang beri makanan banyak rasa
Terimakasih banyak Pak Lang
Karena Pak Lang banyak berjasa

Buah mangga buah pisang
Makan pisang sama teman kita
Terimakasih ya Pak Lang
Hanya Pak Lang yang kucinta

(Ishmet Dzorif A.)

Ke Ungaran membeli kain
Jangan lupa mengajak teman kita
Dibandingkan guru PPL yang lain
Hanya Pak Langgeng yang kucinta

Ke pasar Johar beli bandeng
Membeli bandeng Cuma tiga
Saya berdoa untuk Pak Langgeng
Supaya cepat punay keluarga

(Ferdian Adi C.)




Ke pasar beli ikan bandeng
Tak lupa beli ikan salem
Kami suka dibimbing Pak Langgeng
Karena sering nonton film

(Al Zena Vashti T.)

Jalan-jalan ke kota Jakarta
Pulang-pulang membawa buah berduri
Selamat tinggal guruku tercinta
Sampai jumpa di lain hari

(Dita Nur Hidayah)

Pergi ke pasar beli ikan bandeng
Yang menjual bapak tua
Saya sedih ditinggal pak langgeng
Dia selalu membuat tertawa

(Nur Cholilah)

Bunga mawar sangatlah indah
Bila dicium harum baunya
Jangan lupa beribadah
Kelak akan masuk surge

Timun emas membawa paku
Lari kencang takut raksasa
rajin membaca bertambah ilmu
Rajin bekerja bertambah harta

Harimau mengejar domba
Domba lari sangatlah cepat
Jika hidup banyak dosa
Jangan tunda untuk bertobat
Jalan-jalan ke kota Kerawang
Pulang-pulang membawa duku
Jika ingin umurmu panjang
Hormatilah orang tuamu

Beli baju beli celana
Belinya di pasar Ungaran
Jadilah anak yang bijaksana
Supaya sukses di masa depan

(Elisabeth Selvi O.)

Putri salju amatlah canttik
Baik budi suka menolong
Jika ingin jadi anak baik
Jika berbicara jangan bohong

(Tessya Ayu Amarta)



Jalan-jalan ke kota Medan
Tidak lupa membeli bandeng
Tidak terasa sudah 3 bulan
Waktunya berpisah sama Pak Langgeng

Dari hulu menuju kanan
Jangan lagi balik ke hulu
Maunya sih kepingin kenal
Apalah daya hati malu
(Lia Ardila Sari)




Makan nasi campur bandeng
Dicampur sama ikan pepes
Saya sedih ditinggal Pak Langgeng
Kalau pak Langgeng kembali ke Unnes

(Ananto Rahardian)

Jalan-jalan lihat bunga subur
Jangan lupa juga beli jamu
Jika ingin panjang umur
Hormatilah ayah dan ibumu

Jalan-jalan ke pulau Kalimantan
Lihat orang jadi jutawan
Jika patuh pada peraturan
Pasti selamat smapai tujuan

(Abbas Widyatma C.)


Pergi ke pasar membeli sirih
Tidak lupa membeli bandeng
Hati saya begitu sedih
Karena ditinggal oleh pak Langgeng

Jalan-jalan ke kota Malang
Sampai sana makan ikan bandeng
Hati ini sungguh senang
Punya guru seperti pak langgeng

(Ainul Fitria)




Pergi ke Arab naik onta
Pulang-pulang membawa kursi
Hati sedih tiada kira
Melihat PPL sudah pergi

(Bilqis Tsintani S.)

Adikku suka sekali pergi
Kalau pergi suka lari-lari
Kalau bapak Langgeng pergi
Siapa yang akan mengajari kami?

(A. Putri Ashari)

Jalan-jalan ke kota Pati
Jangan lupa membeli sirih
Ditinggal Pak Langgeng yang baik hati
Hati saya sangat sedih

Gurih nian ikan gurami
Tambah nikmat dengan bandeng
Hati saya senang sekali
Punya guru seperti Pak Langgeng

Jalan-jalan ke took batik
Jangan lupa membawa labu
Pak langgeng guru yang baik
Terimakasihku hanya untukmu

(Octavia Safira Audina)





Jalan-jalan ke pulau Bali
Jangan lupa membawa bandeng
Karna sifanya yang baik hati
Saya bangga sama pak langgeng

(Nega Rananti Retmadika)

Jalan-jalan ke kota Bangka
Tidak lupa singgah di kota Malang
Hati saya berbunga-bunga
Punya guru seperti Pak Lang

(Diendra Raditya Kusuma)

Ke pasar beli ikan bandeng
Tak lupa membeli sayuran
Kami suka dibimbing pak langgeng
Karena sangat menyenangkan

(Jelita Raudya T, S.)

Berakit-rakit ke hulu
Marilah kita berenang-renang
Bersakit-sakit dahulu
Tapi kalau sakit jangan berenang

(Setiyawan rahmadani)

Jalan-jalan ke kota Medan
Sampai Medan disengat lebah
Kalau mau banyak teman
Jadi orang haruslah tabah

(Dwiki Adi Matofan)

Ke Jogja naik sepur
Melihat adik menyusun kata
Hati ini merasa hancur
Melihat Pak Langgeng meninggalkan kita

(Metty Sarah K.)

Makan nasi pakai pete
Beli petenya di pasar
Aku pergi ke pulau Rote
Di pulau Rote aku kesasar

Pergi ke warteg minum sekoteng
Pergi ke pasar beli ketan
Teman bilang aku ganteng
Padahal aku kayak setan

(Igo Primadana)




7B



Aku suka makan bandeng
Kalau beli sendiri aku malu
Selamat jalan pak langgeng
Semoga engkau sehat selalu

Ke pasar membeli buku
Membeli bukunya sama orang Bali
Sungguh malangnya nasibku
Pak Langgeng tidak mengajarku kembali

(Tarasari Indriya W.)

Banyak sekali daun di pohon randu
Tak bisa berbuah terus gagal
Jangan pergi PPL, kamikan rindu
Tangislah hati karena ditinggal


Datanglah raja membawa riski
Riski dari Yang Maha Kuasa
Tangisan hati tiada henti
Hati menangis karena sakitnya


(Agitta sofyan Purwaningtyas)


Pagi-pagi minum jamu
Terpeleset tertusuk paku
Pengalaman bersamamu
Akan ku kenang diingatanku

(Rizal Abdul Jabbar Sadewo)


Ke pasar Ungaran beli bandeng
Tidak lupa beli cabe
Kalau ada guru pak Langgeng
Ceria rasanya kelas 7B

(Dwiki Adi Matofan)

Jalan-jalan ke kota Berlin
Jangan lupa beli duku
Dari bapak ibu guru PPL lain
Hanyalah pak Langgeng idolaku

(Rizqi Fitriyani)


Kabayan pergi ke dokter gigi
Ke dokter gigi naik kuda
Walaupun pak Langgeng harus pergi
Tetapi di hati kita selalu ada

(Errina Saputri)

Pergi Ke kebun memetik papaya
Papaya habis memetik lagi
Betapa sedih hati saya
Karena pak Langgeng harus pergi

Duduk-duduk di bawah pohon beringin
Sambil member makan ayam
Tertawa saya ingat jumat kemarin
Melihat bapak tidak bisa senam

(Farah Nur Rachmania)


Siang-siang pergi ke pantai
Sungguh panas matahari menyengat
Jangan lupa dengan kami
Anak 7B yang paling hebat

(Annisaa’ Nidya Utami)

Lambang cinta adalah hati
Hati tak enak bila disakiti
Pak Langgeng yang baik hati
Jangan pernah lupakan kami

Orang sakit dibawa ke rumah sakit
Diberi bubur tuk sarapan pagi
Hatiku ini sangat sakit
Dengar pak langgeng akan pergi

Sekarang ini banyak pengusaha
Pengusaha buah cermai
Jangan pernah berhenti berusaha
Sebelum cita-cita bapak tercapai

Memberi minum dengan penampan
Penampan dibeli di pasar pagi
Bapak memang orang tampan
Lebih tampan kalau tidak pergi

(Nora Filaela)

Ibu di rumah membuat ragi
Ibu dibantu sama Maya
Walaupun Pak Langgeng mau pergi
Tapi jangan lupakan 7B ya

(Dinny Pratikta A.)
Dua, tiga orang berlayar
Dapatkan ikan banyak sekali
Kalau kita rajin belajar
Pasti akan pandai sekali

(Airin Septianie)

Banyak kerang di pinggir pantai
Kerang pasir di jual di pasar
Bahasa Indonesia jadi pandai
Karena belajar pada orang yang pintar

(Siti Nur Roviatun)

Ada turis dating ke Jateng
Jatengnya kota Semarang
Waktu-waktu bersama Pak Langgeng
Akan selalu aku kenang

Pergi ke pasar beli blewah
Jika dimakan nikmat sekali
Jika kami pernah salah
Mohon jangan diambil hati

(Maulana Hidayatullah)


Ke Pasar kemiri beli bandeng
Jangan lupa mengajak si Ria
Guru PPl namanya pak Langgeng
Kelas 7B terasa ceria

(Dicky Ismailiandi P.)


Beli kawat dipasar pagi
Yang jual namanya Sonya
Pak Langgeng akan pergi
Marilah kita menghiburnya

Ke Makassar beli bandeng
Yang beli namanya Semu
Jangan sesih pak langgeng
Kami akan menghiburmu

(Puguh Sutrimo)

Ada anak naik odong-odong
Rambutnya dikuncir menggunkan pita
Janganlah engkau berbuat sombong
Agar engkau menjadi pilihan kita

(Trias Nilam Prabandari)

Jauh-jauh membeli paku
Membeli paku smapai ke Bekasi
Selamat tinggal bapak ibu guruku
kan ku kenang semua ini di hati

(Desy Nur Fadillah)
Warna merah buah strowberi
Dimakan sama bu Rere
Pak Guruku jangan lupa kami
Anak-anak kelas tujuh B

(Arina Mariyani)




Pohon bambu pohon selasih
Dikenat diatas batu bata
Hilangkan duka dan rasa sedih
Kukirim surat pelipur lara

Jalan-jalan ke kota Jogja
Jangan lupa membeli buku
Jadi orang tua harus bijaksana
Agar disayang anak dan cucu

(Egi Dwi N.)

Ibu-ibu pergi ke kota Malang
Bapak sedang bekerja bakti
Jangan kesal jangan bimbang
Karna sudah bertemu kami

Adik kecil sedang menangis
Menangis kaena dia ditimbang
Anak 7B takkan menangis
karena ditinggal Pak Lang

Jauh-jauh ke kota Jakarta
Jangan lupa melihat Monas
Kami senang bahasa Indonesia
Karena itu membuat kita cerdas

(Ikke Nur Halimah)

Banyak orang berlari-lari
Orang berlari makannya tumpeng
Aku bangga dan senang sekali
Karena diajar oleh Pak Langgeng


Ada perampok sedang ditahan
Perampok ditahan nasibnya sial
Ada pertemuan ada perpisahan
Maafkan kami yang nakal-nakal

(Aristia Jasmine Mentari Jatmko Putri)


Jalan-jalan ke pulau Kalimantan
Jangan lupa membeli alang-alang
Guru PPL itu begitu tampan
Termasuk Pak Zaenal dan Pak Lang

(Dayana Sukmarani F.)

Ada anak namanya Mimi
Dia senang bermain dengan kak Maia
Jangan engkau tinggalkan kami
Tetaplah menjadi guru yang setia

(Dhea Tsaibtah Mentari Putri.)

Ke Semarang beli bandeng
Bandengnya dimakan sama teman
Sungguh senang dengan pak Langgeng
Di samping tampan juga menyenangkan


Keliling kota mencari Pak Sugeng
Ketemunya di Semarang
Walau pisah dengan pak langgeng
Tetap semangat dan berjuang

(Meilani Surya Pamungkas)

Di tambak banyak ikan bandeng
Banyak juga ikan teri
Selamat tinggal pak Langgeng
Semoga kita berjumpa lagi

(Nurul Fadhilah)

Pergi ke wateg beli ketupat
Mampir ke pasar membeli kentang
Untuk apa pantun ini ku buat
Untuk pak Langgeng yang tersayang

Jalan-jalan ke Surakarta
Mampir minum ke rumah orang kaya
Selamat jalan PPl yang tercinta
Jangan lupakan kenangan dari saya

(Muchammad Ilham)

7B berlibur ke Bali
Pergi ke Bali beli bandeng
Guru kami sudah pergi
Selamat jalan pak Langgeng

Pergi ke lading pakai topi
Bertemu orang tak dikenal
Guru IPS telah pergi
Salah satunya pak Zaenal

Makan duren ada duri
Ada duri tak enak rasanya
Bu Risma mengajr tari
Semoga sukses Bu Risma

(Dinda Ayu Pertiwi)
Tukang pel namanya pak Sugeng
Ke Swalayan beli bakwan
Mas PPL namanya pak Langgeng
Dialah yang paling tampan

Mas fuad beli bandeng
Ke Jakarta dengan mbak Tia
Selamat tinggal pak langgeng
Semoga tetap bahagia

(Rizki Aldian Destanto)

7C

Pergi ke tambak ambil bandeng
Bandeng dibakar bersama kerang
Guru sastraku Pak Langgeng
Dari Universitas Negeri Semarang

Ada artis wajahnya ganteng
Dilihat wanita sangat menawan
Aku ingin seperti Pak Langgeng
Karena dia seorang ilmuan

(Rendi Sukma Wardana)

Ibu memasak menggunakan tungku
Tungku dinyalakan menghasilkan arang
Guru berkacamata itu
Emanglah guruku tersayang

Burung kutilang, burung hantu
Kutemukan di rumah si dia
Mari kita semua serukan
Aku cinta Bahasa Indonesia

(Alfiyatul Laeli M)

Anak manis bernama Caca
Caca manis karena senyumnya
Mari kita banyak membaca
Membaca itu banyak gunanya

Jatuh bangun lalu berlari
Berlari cepat sambil tersenyum
Jika ingin wajah berseri
Murahlah engkau dalam tersenyum

(Silvy Al Kurni)
Aura Kasih pergi ke Ungaran
Beli oleh-oleh di rumah Sylvi
Putri datang membawa perdamaian
Untuk Indonesia tercinta ini

(Putri Ayu Kurniasari)

Ada gajah tidak punya gading
Sedang lahap memakan roti
Kesan denganmu tiada tanding
Tak kan kulupa sampai mati

Ada anak namanya Sugeng
Sedang ingin membeli jamu
Selamat tinggal Pak Langgeng
Ku akan selalu merindukanmu

(Dedy Setiyawan)

Hujan lebat sangat deras
Sorenya turun pelangi
Aku memang anak yang cerdas
Makanya banyak yang mengagumi

(Novina Fanny Pitaya)

Anak ini dihajar mami
Naik sepeda menabrak kotak
Terima kasih telah mengajar kami
Anak Spega bangga pada bapak

(Wykan Andreawan-)



Daun pepaya dibuat jamu
Jamunya pahit diminum Danar
Rajin-rajinlah menuntut ilmu
Agar jadi orang yang pintar

Pergi ke Belanda naik becak
Sampai tahun depan tak pernah sampai
Agustya anak yang kocak
Kalau Pak Langgeng guru yang okai

(Erika Septia Dewi)


Bertamasya ke Kyai Langgeng
Melihat kera lucu sekali
Bisa belajar bersama Pak Langgeng
Puas rasanya hari ini

Bermain bola bersama Pak Somat
Walau sebentar terasa lama
Rajin-rajinlah melaksanakan shalat
Karena shalat tiang agama

(Arjun Maida Khoirul H.)

Pergi wisata ke kota baru
Jangan lupa beli papan
Jika dapat teman baru
Teman lama jangan dilupakan

Membuat rumah dari papan
Rumah papan terlihat di sana
Melihat dikau yang rupawan
Siapa orang tak terpesona

Libur lebaran ke Purbalingga
Ke Purbalingga membeli Keripik
Hati siapa yang tak bangga
Mempunyai guru yang terasik

(Arlina Raudhea Ashafa)


Ada orang berdiri kaku
Melihat hantu dia ketakutan
Banyak-banyaklah membaca buku
Karena buku sumber pengetahuan

Kenalan dengan si Nia
Nia anak orang kaya
Lihatlah Negara Indonesia
Yang kaya akan budaya

Mancing ikan dapat teri
Dimakan dengan lauk babat
Banggalah pada anak negeri
Anak negeri semua hebat

Bunga mawar itu berduri
Dilihat kucing lalu dipatah
Jangan khianati sahabat sendiri
Mencari sahabat itu susah

(Ghea Ayu N.)

Di Pati ada tugu tani
Di rumput ada putri malu
Hanya satu hatiku ini
Untuk SMP 3 selalu

Nenek ompong makan singkong
Tak kuat lagi untuk mengunyahnya
Jangan kamu suka berbohong
Berbohong itu tak ada gunanya

(Desty Amanda P.)

Liburan terakhir, kami ke sawah
Di sawah, kami malah membatik
Bila memang harus berpisah
Mungkin ini jalan terbaik

Di tepi hutan ada jerapah
Sedangkan di sawah ada petani
Hidup kami begitu indah
Bila PPL ada di sini

Kulit buah nangka dipegang kasar
Ditambah lagi banyak biji
Jasa kalian begitu besar
Hingga kami sepintar ini

Di jaman purba banyak gajah
Tapi mereka sering diburu
Walau kita akan berpisah
Semoga masih bisa bertemu

Panji itu seorang petualang
Dia melakukannya sambil bekerja
Jarak dan waktu tak jadi penghalang
Kita semua tetap saudara

(Ika Lutfia R.)


Buah kedondong, buah manggis
Buah durian, buah mangga
Janganlah engkau menangis
Bila nanti kau tinggalkan Spega

Jalan-jalan ke sarang naga
Lupa gak bawa oleh-oleh
Bila ingin masuk surga
Jadilah anak yang soleh

Mampir pasar beli jambu
Buat oleh-oleh pak Sugeng
Semoga Pak Langgeng sukses selalu
Selamat jalan Pak Langgeng yang ganteng

(Kevin Arindra Wibowo)

Patrick Star makan ikan
Spongebob datang bawa makanan
Janganlah sedih dengan perpisahan
karena perpisahan awal pertemuan

(Agustya Amini)

Apalah tanda bintang timur?
Sinarnya terang sampai ke fajar
Apalah tanda orang yang jujur?
Hati mulia perkataannya benar

Burung elang mencari makan
Burung unta berlari kencang
Banyaklah member perhatian
Agar pacarmu semakin sayang

(Kornelius Satria Budiyanto)
Ada kucing di luar rumah
Ke sana kemari mencari mangsa
Sejak kecil tidak punya rumah
Kalau sudah besar pasti sengsara

Ada ular di daun kates
Ada ular di dalam kamar
Nanti besar menjadi orang sukses
Karena sejak kecil rajin belajar

(Feti Yulianti)

Truk sampah roda bergigi
Jalannya seperti unta
Meski jumpa sampai di sini
Kan teringat sepanjang masa

Burung beo burung kenari
Tak bersuara di malam hari
Mala mini aku sendiri
Tak seorangpun yang menemani

(M. Fastabib Fais A.)


Bunga mawar bunga kenanga
Tumbuh di hutan lebat
Guru Bahasa Indonesia kita
Ya Pak Langgeng paling hebat

(Diana Pangestuti)




Pohon jati tinggi sekali
Tak ada buahnya namun indah
Pak langgeng ganteng sekali
Melihat wajahnya yang cerah

(Feri Alvian)

Bermain di sawah mencari belalang
Habis hujan melihat pelangi
Kalau kita berumur panjang
Semoga kita bisa berjumpa lagi

(Hepi Wulandari)

Ada nelayan sedang belayar
Tak terduga terkena tinta
Kalau kita rajin belajar
Pasti bisa raih cita-cita

Ada anak jalan di trotoar
Disebrangkan oleh polisi
Bila kita rajin belajar
Pasti bisa berprestasi

(Nora Safitri)

Buah mangga buah kedondong
Buah kedondong masam rasanya
Janganlah kamu suka berbohong
Karena akan mendapat dosa

Makan rujak di kota Godong
Belinya di pasar raya
Jadi orang jangan sombong
Karna sombong tak ada gunanya
Kalau punya makanan enak
Jangan lupa bagi-bagi
Kalau punya rejeki banyak
Jangan kamu sombongkan diri

(Nadhifa Hasna Fauziyah)

Hari libur ke rumah mini
Di rumah mini bersuka ria
Cintailah negri ini
Aku cinta Indonesia

Ada buah namanya ace
Buah yang busuk jatuh ke sungai
Jangan lupakan anak 7C
Karena mereka pandai-pandai

(Tyas Ndaru Widyastuti)


Ke Jogja membeli batik
Tak lupa membeli bakpia
Kalau ingin menjadi anak baik
Berbaktilah pada orang tua

Ada kutu menggendong gajah
Jatuh ketanah dimakan buaya
Kalau ingin membuang sampah
Buanglah pada tempatnya

(Fidelis Diptya Kotaman)




Berwisata ke Terusan Suez
Dikawal oleh Pak Komandan
Terima kasih PPL Unnes
Yang senang membagi ilmu dan kesan

Membawa pacul sambil bersawah
Padi dipanen petani riang
Walau kita kan berpisah
Tapi hati masih mengenang

(Shofi Ulfa Hidayah)


Ada ikan memancing cumi
Warnanya kuning keemasan
Jangan suka makan indomie
Karena bisa merusak badan

(Kresna Aji Santoso)


Panas-panas makan buah mangga
Menghilangkan rasa lelah
Bila kamu ingin masuk surga
Banyak-banyaklah beribadah

Gula aren gula jawa
Dimakan rasanya manis
Jangan banyak-banyak tertawa
Nanti kamu bisa menangis

(Ervana Putri R.)



Ada kutu naik manusia
Si kutu malah makan darah
Ada guru Bahasa Indonesia
Inspirasi kita menjadi bertambah

(Sri Pemenang W.T.N.)



Ke Siwarak ikut berenang
Pulang-pulang membawa mangga
Hati bapak begitu senang
Memandang 7A yang berbunga-bunga

Bola sepak dimakan buaya
Buaya sakit sambil meringis
Hati bapak begitu bahagia
Melihat 7B yang manis-manis

Memasak nasi di atas bara
Bara dibawa di atas lori
Hati bapak begitu gembira
Melihat 7C yang berseri-seri

Beli kapak ke negeri sebelah
Pulang-pulang membawa ikan
Jika bapak punya salah
Mohon segera bisa dimaafkan

Ada selasih di meja makan
Disajikan dengan buah markisa
Terima kasih bapak ucapkan
Untuk pertemuan yang luar biasa

Beli rujak buahnya mangga
Sedikit dicampur buah semangka
Meski bapak tidak lagi di Spega
Janganlah kalian sedih dan berduka

Berlibur ke sungai Gangga Berangkatnya dari kota Banjar Meski bapak tidak lagi di Spega Kalian harus tetap rajin belajar
Pesan :
Spega Ungaran, sekolah yang luar biasa. Luar biasa kenapa? Karena Spega mempunyai kalian, kalian yang memiliki semangat belajar yang luar biasa, semangat keingintahuan yang dahsyat ! semangat belajar yang begitu hebat.
Tetap jaga semangat kalian hingga lulus nanti. Nikmati pelajaran demi pelajaran yang diberikan oleh bapak ibu guru, pasti semua akan ada manfaatnya untuk kalian di masa yang akan datang. Tumbuhlah menjadi manusia yang berguna bagi siapa saja, baik berguna bagi sesama teman, orang tua, keluarga, agama bahkan nusa dan bangsa.
Pesan dari bapak adalah 3B. Berdoa, Berjuang dan Bersyukur. Berdoalah sebelum kalian belajar. Berjuanglah untuk mendapatkan ilmu yang kalian inginkan, tentunya dengan nilai yang memuaskan. Bersyukurlah kepada Tuhan atas apa yang telah kalian dapatkan, setelah kalian benar-benar berdoa dan berjuang untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan, meskipun kadang tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan.
Anak-anakku yang tersayang, tes tengah semester tinggal menghitung hari. Persiapkan diri kalian dengan berdoa, berjuang dengan giat belajar dan jaga kesehatan agar bisa menjalani tes midsemester dengan maksimal.
Semoga sukses dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Amin.
Mohon maaf tidak semua karya dari kalian bisa bapak tampilkan, karena keterbatasan pada banyak hal. Terima kasih untuk kalian yang telah ikut berkarya dengan bapak. Tetap berkarya dan jangan menyerah!
Karya-karya dalam buku ini bisa dilihat di blognya bapak dengan alamat www.denelanggeng.blogspot.com. Semoga kita bisa berjumpa lagi dalam kesempatan yang laini. Amin.
Tetap semangat !!!

Selasa, 28 September 2010

Hujan Mereda

Hujan Mereda:

meraba kulit terjangkit
oleh rindu teramat sulit
dapat penawarnyapun cuma sedikit
tetap pada tempat dan selalu bangkit

Exboss

Jumat, 24 September 2010

Sekadar Berpikir Pendek

denkur tergusur:

Entah diam dalam sebuah kurungan
Menggali lubang untuk pulang
Aku sembilu mulai memikirkan
Jalan tepat tak kembali meradang

Petang Menggenggam:

Menguntit naluri penuh geram
memasang perangkap dipadang pendam
aku tidur penuh diam
mengangkat kepala tanda tertikam

pagi kembali berlari:

berasa arwah terbagi
menantang buas di diri
membuka lebar berjudi nadi
pungkasnya, darah perih akan mati

Jumat, 27 Agustus 2010

Pemburu Kaki

Bukan penyihir yang main sindir
Bukan pelari yang gagal menari
aku lebih sering menjadi pemburu kaki
meneriakkan berhenti pada si tuli
mencari acak nanah di diri

aku lebih sering membangkang
dari pada menyerang

aku lebih suka merinding
dari pada berbaring

aku lebih ingin berbenah,
dan tak ingin menengadah

aku lebih pantas dimaki
ketika aku akan pergi

tidaklah layak untuk disesali,
ketika aku telah membeli belati tak berhati

Sabtu, 14 Agustus 2010

Sepaha

Senandung pagi hari:

Membiarkan dahaga mendaki
Tancapkan belati di dada kiri
Entah kenapa aku ini
Melingkar ingkar pada diri

Senin, 09 Agustus 2010

Aku Memang

aku memang mencintaimu dengan berkelana
dengan bata yang tak bisa dibawakan
bayu kepada ku yang menggoreskan abu

aku memang mencintaiku dengan berkelana
dengan semburat yang tak bisa dibelaikan
awan kepada ku yang menuliskan balada

Jumat, 23 Juli 2010

Mengiring Malam I

Satu Putaran bulan
Syukur telah terlewatkan
Menggapai kebahagiaan
itulah impian dan tujuan

Termakan rindu tak bertuan
itulah nikmat tak tergantikan
tetaplah tersenyum untuk yang merindukan

Sabtu, 10 Juli 2010

PENIKMAT MALAM MENYENTUH BULAN




Serpihan Awal

Gelap merayap pada patahan-patahan langit, membagi tanda mata menyala dan menyalak, sebuah petir yang sengaja memelintir telinga. Awan-awan menggembung, sedikit menyentuh cakrawala kota Semarang yang mengayun denyut jantung yang kian cepat menemukan detakannya. Benang-benang angin menyapu tetes-tetes matanya yang tak terpelihara. Lapisan tanah liat tipis telah akrab dengan susunannya, terinjak oleh jeruji-jeruji hujan yang jatuh dari khayangan. Mengusir burung layang-layang linglung mencari jalan pulang.
Aku terdampar bersamanya di atap rumah, menguji hati untuk tumbuh dewasa. Ku lihat dia berdiri tak bersuara, menundukkan kepala tanpa berkata. Aku hanya bisa duduk menekuk kakiku, tak ingin mengganggunya yang sedang masuk dalam khayalan tingkat tinggi. Aku pun diam, hanya sesekali terbatuk-batuk untuk mencoba mencairkan suasana. Mungkin aku terlalu gaduh baginya, untuk sesuatu yang ia belum tahu. Sesekali aku menengoknya, matanya merah seperti menahan marah, tapi dia menagis. Kedua tangannya menggenggam, rasanya ia memendam kekesalan padaku yang amat dalam. Ku rasakan getaran kakinya di tempat aku duduk. Aku jelas di sampingnya, tapi aku rasa semakin lama semakin jauh jarakku dengannya.
Pakaian yang ku kenakan telah mengering , tapi dia pun masih enggan bicara padaku. Matanya masih memandang kosong ke arah timur laut, ke arah tujuan ku di hari esok. Tubuh ini rasanya sudah bosan menunggu tanpa ucapan sedikitpun darinya. Hanya tangis yang menjawab pandanganku terhadapnya. Aku beranjak, berharap ia mau rela memandangku. Tak ku sangka, ia masih tak mau menoleh.
“Ranti, katakanlah sesuatu untukku….aku hendak pergi tapi kau malah diam begini… ada apa denganmu?”
Sedikit ungkapan dariku yang terlisan hanya dalam batin.
Aku memilih melangkah sedikit demi sedikit untuk meninggalkannya yang masih terdiam, dengan harapan ia mau memanggilku. Tapi, ia masih saja berdiri terpaku. Mungkin ia sedang memikirkan kalimat pertamaku tadi yang terhenti oleh petir yang mengawali tangisnya. Ku lanjutkan langkah dengan menuruni anak tangga yang rasanya licin sekali, seolah menghadangku untuk meninggalkannya sendiri di atas sana. Satu-persatu anak tangga ku injak dengan penuh kehati-hatian dan harapan.
Semenit kemudian, aku sampai di luar pagar rumahnya yang hampir semua tertutup bunga rambat. ku bunyikan bel sepedaku berkali-kali untuk menarik perhatiannya. Begitu cantiknya dia, ketika ia palingkan muka dan melemparkan senyum terindahnya kepadaku, kemudian ia berteriak “pergilah dengan citamu dan akan ku iringi larimu dengan hatiku yang menunggu cerita cinta yang tertunda di masa lalu untuk masa depan, ketika kau dan aku saling berhadapan kembali”
Kemudian aku jawab “ aku akan jadi penikmat malam yang akan memandang bulan yang sama, ketika kaupun juga memandangnya”
Kayuhan kakiku terasa ringan meluncurkan pedal sepeda, untuk pulang berkemas dan bergegas pergi ke Surabaya mengikuti orang tua dan berusaha meraih cita di sana.













Tangisan Itu…



Minggu pertamaku bekerja sebagai pelayan kapal, aku hanya disibukkan untuk mencuci piring di dapur kapal sesekali aku disuruh Kepala Dapur untuk mengambil air minum di gladak kapal paling bawah tempat parkir kendaraan air. Tiap hari, dari pagi menjelang malam hanya itu yang harus lakukan untuk meraba profesi seorang pelayan kapal. Tentunya ini jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan 2 tahun lalu dan tak seperti apa yang dijanjikan pihak sekolah tinggi kepariwisataan di Surabaya itu. Dalam bayanganku begitu megah kapal pesiar yang berlabel bonafit yang akan menjadi tempat kerjaku nanti, tapi ternyata setelah lulus aku hanya ditempatkan di kapal feri penyeberangan Jawa-Kalimantan yang berpusat di Semarang. Memang kapalku ini termasuk kapal terbaik yang dimiliki oleh perusahaan tapi ini tetaplah jauh dari bayanganku sebelumnya.
Seperti hari- hari sebelumnya di kapal. Setelah jam kerjaku selesai , tiap tengah malam menjelang aku berusaha mendekatkan diri pada malam, mengenang ucapanku tiga tahun lalu. Aku berdiri di tepi gladak paling bawah kapal sedikit menikmati indahnya sinar bulan. Angin yang begitu deras menerpa membuat tanganku gemetar berpegangan pada besi kapal. Langit yang hitam seperti ingin bicara padaku bahwa malam ini hujan akan kembali menghampiri laut jawa.
Tangisan-tangisan kecil dari dalam bak sebuah truk yang dikerubuti terpal biru yang lusuh menyapaku di malam yang kian dingin. Truk itu tepat berhenti di depanku.
“Hei bung, kau lihat apa?!” bentak supir truk dengan logat bugisnya padaku.
“ Maaf, pak” jawabku singkat sembari menolehkan pandangan.
Aku hanya diam, sedikit terbersit dalam pikiranku sebuah keanehan. Entah apa, tapi kupastikan ini sebuah ketidakwajaran. Dalam sebuah truk yang seharusnya memuat bahan makanan kemungkinan diisi sekitar puluhan anak gadis dibawah umur. Tangisannya pun terdengar bersautan tapi hanya sayup-sayup karena tersapu angin laut.
Langkahku berpindah dari tepi gladak sedikit ke sudut tempat parkir, dekat dengan tumpukan kardus-kardus pakaian bekas yang akan dijual ke Kalimantan. Pikiranku masih tertarik dengan fenomena yang terjadi dalam truk itu sesekali aku tetap memperhatikan truk yag bercat kuning itu. Setelah beberapa jam aku menunggu kesempatan, sopir truk yang berperawakan tinggi besar dan berkumis tebal itu akhirnya tertidur pulas. Tak lama kemudian kernetnya pun ikut terlelap.
Suara-suara yang tiada henti itu mendorongku untuk mendekatinya. Sambil ku perhatikan sekeliling. Yang hanya ada barang-barang dagangan dan beberapa pedagang yang tidur menunggui dagangannya yang hampir busuk, langkah kakiku tertuju pada suara-suara yang semakin kuat terdengar dari bak truk. Setelah dekat, suara itu sekejap hilang dari pendengaranku. Perlahan ku buka terpal biru yang menutupinya, hanya terlihat tumpukan karung berisi sayur mayur, beras dan bahan makanan lainnya. Aku kembali memikirkan sebuah keanehan yang telah ku alami.
Sambil berjalan dengan sedikit linglung pertanda tak percaya dengan apa yang kurasakan, ku jauhi truk yang penuh misteri itu. Mencoba meraba jawaban misteri mala mini lewat loncatan jaringan neuron yang ada dalam otakku. Mungkin keanehan ini tidak bisa dibuka dengan indera-indera yang kentara, tapi mungkin hanya bisa dilihat lewat mata batin.
Ku sudahi pikiran yang mungkin bisa dikatakan “mblinger” ini dengan merebahkan diri di kursi panjang tempat istirahat para ABK kapal. Kupandangi lampu kapal yang berada tepat 2 meter di atasku, lampu kecil yang kelihatan usang dan seperti terpasang sudah lama itu masih terlihat terang. Sorot cahayanya menelusup jauh ke dalam mata. Menawarkan khayalan terbang khayangan mengingat sebuah kenangan. Tapi itu akhirnya ku abaikan saja, karena badan dan otak ini sudah tak kuasa untuk memijak alam khayal yang pasti akan membuat ketagihan untuk selalu meneruskan dan meneruskan kahayalan tentang kenangan. Memang susah untuk melupakan kata-kata yang sempat terlisan dalam sebuah perpisahan.
Hari terakhir sebelum sampai pelabuhan penyebrangan di Kalimantan. Hujan di tengah laut menyambut. Burung-burung kian jauh terbang ke utara menghindari gerimis kecil laut Jawa. Para nelayan pun seakan menjauh dari cakrawala, memacu pulang perahu motor dengan membawa tumpukan keranjang ikan segar hasil tangkapan tadi malam.
Pagi ini hanya kuhabiskan untuk mencuci sayur, piring dan mengambil air untuk keperluan para awak kapal dan penumpang VIP. Seperti hari-hari sebelumnya hanya itu yang kulakukan di atas kapal.
“Pak Atmo, adakah yang bisa aku lakukan selain mencuci piring dan mengambil air? Saya bosan tiap hanya itu yang saya lakukan.” keluhku pada nahkoda kapal yang sedang mengontrol kinerja para koki.
“oh kamu yang ABK baru itu ya?, maaf namanya siapa?
“iya pak, Saya Arya. ABK yang baru masuk minggu lalu” jawabku dengan senyum.
“ oya, Saya ingat. Kamu yang lulusan Surabaya itu ya? Anaknya pak Atmojo, keamanan pelabuhnan.
“benar sekali kata bapak, tapi kok bapak tahu mengenai ayah Saya?
“oh iya, dulu Saya teman sekelas bapakmu waktu di SMP, jadi Saya sudah lama kenal. Apalagi sekarang kerjanya sama-sama di bidang kelautan, sering bisnis bareng pula, jadi tambah akrab, wes kaya sedulur dhewe.hehehe”. jelas pak Atmo sambil menepuk pundakku.
“loh sudah seperti saudara,?’sedikit terheran.
“dek Arya sudah dulu ya kapan-kapan kita lanjutkan lagi, saya mau mengontrol bagian mesin kapal dulu, takut-takut nanti ada yang salah”.
Ku jawab hanya dengan senyuman dan sedikit tundukan kepala sebagai rasa hormat kepada atasan.
Hati ini kembali ciut dengan tidak terjawabnya pertanyaanku, Adakah yang bisa kulakukan selain mencuci dan mengambil air?
Sore hari keempat. aku masih saja disibukkan dengan pekerjaanku yang monoton itu. Keluhku hanya kusimpan dalam hati, karena aku sadar aku hanyalahABK yang baru yang belum punya hak lebih di kapal ini.
Jam kerjaku hari ini selesai, secara mendadak aku diinstruksikan oleh kepala dapur untuk mengantar makan malam untuk para pekerja di bagian mesin.
Pekerjaan antar-mengantar ini lah yang lazimnya kau jalani sebagai pramusaji lulusan dari akademi kepariwisataan, bukan mencuci piring dan mengambil air.
Makan malam dengan menu ingkung lengkap dengan sambal trasi dan lalapan, ditaruh dalam nampan anyaman rotan. Wangi panggangannya seketika itu pula menyebar ke seluruh ruang mesin kapal. Ditambah harumnya aroma wedang jahe yang begitu menyibakkan indra penciuman, melengkapi suasana malam yang kental akan suara debur ombak. Kutaruh sejajar lima piring bercorak bunga sepatu dan gelas bening bertuliskan D45.
Sengaja tak kubawakan perangkat sendok garpu, karena menurut Pak Yatmo kepala dapur yang sudah 5tahun bekerja, para petugas mesin suka muluk untuk menikmati makan malam yang tiap kali dihidangkan untuk mereka.
Sambutan yang penuh kehangatan langsung kurasakan ketika masuk dalam ruangan tempat para pekerja mesin beristirahat, yang dihiasi gantungan baju kotor yang berantakan berbau oli yang menyengat mengendap lama dalam ruangan penat. Baunya persis dan khas bengkel motor di sebelah rumah masa kecilku yang ku tinggal selepas SMA yang mungkin sekarang telah kumuh karena t ak pernah dirawat.
“Matur nuwun, sudah diantarkan makanannya” ucap salah sat orang pekerja padaku.
“nggeh pak, sama-sama” jawabku singkat.
Dari balik mesin kapal, tampak berjalan tergopoh-gopoh seorang kakek yang mengenakan celana pendek warna hitam dengan kemeja putih yang lusuh melekat di badan, ia terburu-buru mengambil segelas wedang jahe yang telah tersuguh. Diminumnya wedang jahe yang masih mengepulkan asap itu deengan cepat.
“uhuk…uhuk…huk…” kakek tua itu terbatuk dan memuntahkan wedang jahe karena kepanasan.
“yang pelan tho mbah, kalo minum…” kata salah seorang pekerja.
kakek itu tak menghiraukan perkataan dari rekan kerjannya itu. Ia malah berjalan mendekatiku yang masih menata piring-piring bekas makan siang tadi.
“ le, kamu ABK baru di kapal ini? Aku ndak pernah ketemu kamu sebelumnya” Tanya kakek itu padaku.
“nggih mbah, saya ABK baru disini, ini pelayaran perdana saya”
“benar dugaanku, namamu siapa le?”
“Arya mbah, Arya Putro Atmojo lengkapnya.”
Jawabku sambil tersenyum.
“Owh.. wajah dan matamu mirip penjaga Tanjung Mas le, namanya juga Atmojo.”
“beliau bapak Saya mbah, mbah kenal?”
“ yo kenal toh, hehe…, ya wes, ayo bareng-bareng makan disini dulu, biar akrab sama yang lain”
Ajakan kakek itu hanya bisa kubalas dengan senyum dan langkahan kaki untuk bergabung dengan lima pekerja mesin lainnya. Perkumpulan itu hanya membicarakan ikhwal-ikhwal yang jarang aku dengar, apalagi aku juga ikut membicarakannya. Hal-hal mengenai hubungan antara suami dan istri menjadi hal pokok yang hangat di mulut para perokok ini. Sambil bermain gaple ditemani wedang jahe mereka semangat sekali bercerita mengenai keluarganya. Masing-masing dari mereka bergantian mengisahkan tentang anak dan istri mereka yang telah ditinggal beberapa bulan bahkan ada yang sampai tahunan, entah ditinggal di pulau jawa ataupun Kalimantan. Perpisahan yang bisa dibilang cukup lama ini, membuat psikologi para pekerja mesin sedikit terganggagu.
“bini ku bunting!, kagak tau sekarang udeh nglahirin ape belum” celoteh salah seorang pekerja yang mengaku betawi asli.
“biarin aja kang, bojoku juga ndak tak urusin kok.
Dia bisa mbrojol sendiri tanpa aku” sahut salah satu yang lain.
“ kalian kurang parah, aku malah metengi bocah ndak tak kawini, tak tinggal ngapal di sini. Sekarang keluargane binggung nyari aku. Hahahahaha” sahut seorang lagi yang sepertinya tak pernah pulang.
Aku hanya diam, merasa dalam belenggu kata-kata yang saling menyahut, yang menyebutkan semua borok-borok yang ada di sekitarku. Suasana lebih parah terjadi, saat ku mulai beranjak pergi, mata-mata mereka seperti mengikutiku. Aku ingin menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan ini.
“ awak-awakmu ternyata sama saja, jan rak nggenah!, nek aku yo parah meneh.. bojoku tak tinggal anakku tak dol ning Kalimantan! Hahahhaa…” tawa salah seorang dari mereka yang tampak paling tua selain kakek tua tadi.
Pikiranku kembali tersulut pada sekam pemikiran tengah malam kemarin, setelah perkataan yang menyentuh hal penjualan anak., kucoba selami perkataan tersebut pikiran ku itu menarikku untuk kembali melihat isi truk misterius itu yang berisi tangisan-tangisan peradang pikirku. Perlahan kaki ini melangkah, tapi seseorang menarik kemeja dan menaruh tangan di pundak dari belakang, perlahan ku tolehkan kepala, terlihat tangan yang keriput dengan penuh bekas luka.
“pasti kamu bingung le, biarkan saja mereka. Mereka memang sudah edan. Mereka ndak punya gawean lain selain cerita-cerita yang aneh, seperti itu”
Meskipun telah ditenangkan, tetap saja pikiranku tidak tenang, terasa magnet kemisteriusan dalam truk itu semakin kuat menarikku. Dengan menghela nafas, kukumpulkan segenap keberanian untuk lebih dalam menggali informasi mengenai kejanggalan pada truk itu.
Tepat tengah malam, selepas mengambil sisa makanan dan piring kotor di ruang mesin, aku putuskan untuk melihat kembali truk misterius itu. Sesampainya di pintu masuk gladak paling bawah, tangisan itu kembali terdengar dengan sesekali panggilan kepada seseorang untuk minta tolong.
“aa…a…a…a…, mbak tolong aku, tolong aku…..”
Suara yang kemarin terdengar kurang jelas, sekarang seperti telah menyatu pada satu suara saja, suara pinta tolong. Jantung ini serasa mencapai puncak deguban tercepat, seolah aku akan menghadapi eksekusi gantung diri. Nafaskupun rasanya menipis, seperti tiada udara lagi yang bisa ku hirup ketika ku simak rintihan pinta tolong itu. Berkali-kali rintihan itu menusuk telingaku, hingga ku tak sabar untuk membuka misteri truk yang menangis itu.
Setelah satu kakiku masuk gladak, kuperhatikan sekeliling, di antara truk yang berjajar, tumpukan kardus dan karung makanan berjajar dengan rapi, di pojok dan di sela tumpukan para pedagang tengah tertidur, adapula pedangang yang masih sibuk mempersiapkan dagangan untuk nanti setibanya di sebrang.
Ku jejaki langkah yang sama seperti biasanya aku menikmati indahnya bulan. Tepat di sebelah truk, langkah ku terhenti, suara itu semakin kuat ketika aku coba mendekat. Sopir truk kuperhatikan masih sibuk didalam truk dengan minuman ditangan, sesekali ia muntahkan minumannya keluar jendela dan berkata-kata kotor pada kernetnya, kata-katanya pun tak karuan seperti orang gila. Mereka berdua tampaknya sedang mabuk minuman keras.
Ku manfaatkan keadaan mereka yang sedang mabuk dengan sedikit demi sedikit menyelinap di bagian belakang truk. Bak truk yang masih rapi dikerubuti terpal biru itu mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bau yang menyengat itu sedikit menghambatku untuk membuka semua bagian yang menutupi bak.
Seolah aku dipaksa rasa penasaranku, meski bau tetap kubuka terpal biru yang lusuh itu. Terlihat jelas tumpukan sayur mayur yang busuk dirubung lalat biru. Bau busuknya semakin menyeruak keluar, mungkin akan membangunkan seisi gladak yang tengah tertidur pulas. Sambil menutup hidung, kakiku beranjak naik memanjat, menginjak karungan kol yang telah membusuk. Ku buka dan ku geser karung-karung yang penuh lalat, namun belum kutemukan sumber suara itu. Bagian terluar truk terus ku geser satu persatu, dari tumpukan kol paling bawah, wortel, bawang merah dan tomat yang paling atas sudah ku bongkar ku jadikan tumpukannya sejajar, namun belum ada tanda-tanda suara itu berhenti. Aku semakin dalam masuk perguluman dengan bau, mendeteksi suara minta tolong yang belum mau berhenti dengan kedatanganku.
Setelah ku temukan sebuah kotak kayu yang bentuknya mirip peti harta karun yang ukuranya sama dengan peti mati, suara itu melirih. Peti itu membujur tepat mengisi lebar bak truk, di atasnya diletakkan kardus-kardus berisi mie instan yang sepertinya juga sudah kadaluarsa, terlihat pada label kadaluarsa di luar kardus yang bertuliskan 6 Juli 2001. Setelah semua kardus ku turunkan terlihatlah jelas bagian atas peti itu. Beruntunglah aku, peti sumber suara itu tak dikunci pemiliknya, secara leluasa bisa ku buka.
Terperanjat aku, ketika ku buka isinya yang tak kuduga sebelumnya. Seketika itu pula, nafasku tersedak, darah serasa berhenti mengalir di kepalaku.
“Astaughfirullah….” Ku ucapkan berkali-kali untuk menenangkan diri melihat mayat gadis kecil yang lehernya bergantung kalung emas berhuruf W yang mulut dan matanya masih membuka lebar.


Pulang
untuk Kecewa

Matahari sore melekat penat, mengikat keringat di badan dengan pakaian. Jalan kampungku yang dulu berbatu kini telah halus teraspal, angin yang bertiup sedang menghempas pasir-pasir kecil di pinggir jalan. Rumah-rumah tetangga masih seperti tiga tahun dulu, masih sederhana dengan pohon rambutan yang menghiasi halaman. Bengkel sepeda motor samping rumahku pun masih sama baunya, bau minyak rem dan oli khas bengkel kecil yang kala itu masih beberapa di kampungku. Keceriaan anak kecil yang berlarian dari sudut rumah satu ke sudut rumah yang lain bermain petak umpet menyambutku pulang setelah dua tahun pergi.
Bel sepeda Pak Trimo, tetanggaku yang juga bekerja sebagai pengantar koran membuyarkan kahayalan indahku tentang kampung Kuripan ini.

“Mas Arya ya?” sambil memberhentikan sepeda onthel
di sampingku dan melempar senyumnya hingga terlihat salah satu gigi peraknya.
“ nggih pak” jawabku dengan senyum kecil sambil berjabat tangan.
“ dari mana saja tho mas, kok baru kelihatan sekarang?, bajunya juga rapi, seperti pegawai saja,hehehe”
“ Arya melanjutkan sekolah di Surabaya pak, nderek bapak yang pindah tugas di sana.”
“ berarti pak Atmojo sekarang kerja di Suroboyo ya mas?” Tanya pak Trimo sambil membetulkan kaca matanya yang melorot.
“ sampun mboten, bapak dipindahkan lagi ke Tanjung Mas pak, tempat kerja bapak dari Arya masih kecil.”
“ owh.. begitu, nggih pun pak Trimo tak nganter koran sore dulu ke tempat pak Lurah ya mas, yang krasan di rumahnya sendiri….. hehehe”pamit pak Trimo dengan senyumnya yang khas itu.
“nggih, monggo pak” jawabku singkat.

Bertemu pak Trimo, seperti mengulang kenangan masa lalu. Dulu aku yang selalu mengambilkan Koran antaran dari pak Trimo untuk bapak. Kadang bapak mengajak pak Trimo mampir ke rumah untuk sekadar minum teh atau kopi susu jahe kesukaannya, sekadar bergurau berbincang berita-berita yang ada di Koran yang mereka baca bersama. Bagi bapak, pak Trimo adalah orang yang lucu dan bisa menghibur. Kata bapak, pak Trimo adalah teman yang ceria bisa menghibur semua orang yang ada di sekitarnya. Sewaktu ibu meninggal, pak Trimo lah teman bapak yang paling akhir menemani bapak di rumah. Karakter yang unik dan menyenangkan adalah kalimat terakhir bapak untuk menggambarkan sosok pak Trimo, sewaktu ku tanya mengenai pak Trimo dulu, sebelum pindah ke Surabaya.
Tas ransel di punggungku seperti mengajakku untuk masuk ke sebuah rumah, yang sebelumnya hanya ku pandangi dari tepi jalan. Ukiran kayu khas jepara yang menempel di dinding luar rumah masih tak berubah. Cat coklat yang menempel di tembok telah sedikit mengelupas. Pohon rambutan yang dulu tingginya sama denganku sekarang sudah melebihi tinggi atap rumah tetangga sebelah. Rumput-rumput kecil tumbuh padat merata di halaman, mengitari rumah masa kecilku ini. Jalan setapak berkerikil di halaman untuk masuk rumah, terlihat becek. Genangan airnya belum kering usai hujan tadi siang. Yang paling membujukku untuk masuk adalah suasana dalam ruangan yang sejuk, seperti memupuk rasa tentram hati ketika bersantai di sudut ruangan tengahnya, dengan duduk di dekat jendela bersandar di kursi peninggalan eyang, rasanya hidup yang berat bisa terasa lebih santai. Suasana itu seperti terapi penghilang stres alami bagiku , tentunya ala rumah idaman bapak.
Begitu masuk, pandanganku seketika tertuju pada sudut kanan rumah, tempat kursi eyang itu berada. Ku alihkan pandangan ke sudut kiri rumah, kamar tidurku yang mungil masih tepat ditempat.
“assalamualaikum…..” ku ucap salam sambil mengetuk pintu.
“walaikumsalam….” Terdengar suara wanita dari balik pintu ruangan tengah.
“Arya?” tanya eyang agak heran, seperti tak percaya dengan kedatanganku.
“nggih eyang putri” jawabku sembari tersenyum dan bergegas mencium tangan nenek.
“ gimana kabarnya le, tumben pulang ke Kuripan?”
“ Arya baik-baik saja, Eyang pripun?. pulang ke sini pengen nengok eyang sama dek Evi kok, Arya terakhir di sini kan 2 tahun lalu, jadi merasa kangen dengan suasana rumah dan kampung Kuripan”
“ istirahat dulu le, eyang ambilkan minum”
“inggih…”jawabku singkat sembari meletakkan tas ranselku di kursi.
Benar-benar belum begitu berubah rumahku ini, tiang penyangga rumah yang dulu sering aku gambari masih utuh dengan gambar warna warni khas anak kecil. Jam dinding klasik kesayangan eyang kakung juga masih terpajang rapi di sudut ruang tamu. Foto-foto saat keluarga masih lengkap tinggal di rumah ini pun masih utuh ditempat. Hanya yang agak berubah di bagian halaman yang pohon-pohonnya telah tumbuh lebat dan rumputnya kurang terpelihara dan tumbuh dimana-mana.
Hal ini bisa dimaklumi, karena yang tinggal di rumah hanya Eyang putri dan adikku Evi yang masih SD yang biaya hidupnya bergantung pada kiriman uang Bapak dan Bu lek yang di Bandung.
“Arya, Eyang buatkan teh poci hangat kesukaanmu, di minum ya….”suruh eyang sembari meletakkan cangkir di meja sampingku.
“inggih eyang putri…..”jawabku singkat sambil memegangi cangkir, khawatir tumpah kara eyang meletakkanya di tepi meja.
“Eyang ke belakang dulu nang, masaknya belum rampung, kenang istirahat dulu”
“inggih…”jawabku singkat dengan ku akhiri dengan senyum.
Sedikit aneh rasanya dan seperitnya aku salah tingkah bertemu eyang putri, terasa sedikit asing saja dengan nenek yang sejak kecil mengasuhku di rumah ini sepeninggal almarhum ibu. Beliau memandangku dengan pandangan yang sayu, serasa ingin memanjakan diriku yang telah lama tak ditemuinya. Kulitnya yang keriput, tetap terlihat lebih segar ketika senyumnya terkembang.
Setelah istirahat beberapa menit menikmati suasana rumah dari sudut kursi peninggalan eyang kakung, dengan ditemani segelas the poci buatan eyang, aku berkeliling rumah, mencoba menikmati kenangan yang selama dua tahun ini hanya terangan di pikiran. Selangkah demi selangkah, aku menjejakkan diri di hampir seluruh lantai yang tersusun dari kayu-kayu jati.
Angin sore menambah rasa kerinduan kepada kampung halaman, serasa kembali menjadi seorang anak kecil yang berkeliaran di halaman dan di belakang rumah, yang bermain kejar-kejaran dengan ayah, yang menangis sendiri sebab larinya terantuk batu kerikil. Langit jingga yang kupandang mengisyaratkan sebuah kenangan yang sedikit terlupakan. Tentang bulan yang sedikit waktu lagi akan hinggap dan menggantikan warna jingga di dinding dunia, aku teringat kala sore yang menggurah hati itu.
Sore yang berhias hujan deras, sore yang di mana aku pertama kalinya melihat Ranti diam seribu bahasa ketika ku utarakan niatku untuk meninggalkan kota ini. Sungguh begitu ingin menangis hati ini ketika ingatan itu tak sengaja memenuhi pikiranku sesaat. Tapi untuk kali ini, aku sengaja untuk mengingatnya. Janji itu terlanjur terucap dalam hatiku, untuk kembali bertemu Ranti selepas kerja dari kapal.
“kenang…kenang…”eyang putri memanggil dari dalam rumah.
“ Arya di belakang rumah Yang….”jawabku setengah teriak.
Suara eyang yang memanggil dari dalam rumah memaksaku untuk mengakhiri sapaan khayalku kepada Ranti.
“makan dulu… sudah eyang buatkan sayur bayam dan pecel lele kesukaanmu” suruh eyang sambil melambaikan tangan tanda memanggilku.
“ adikmu Evi sampun pulang nang… “ lanjut eyang setelah tak mendengar jawabanku.
Aku kembali ke rumah memenuhi panggilan eyang, yang tidak suka masakannya tak disentuh sedikitpun.
“Mas Arya…..!!!” teriak girang Evi, ketika melihat aku muncul dari balik pintu belakang rumah.
Ku jawab teriakan itu dengan senyum kecil yang menandakan kegembiraan bertemu dengan adik yang dulu mungil, kini sudah beranjak dewasa. Evi memeluk erat badan yang rasanya masih pegal ini, selepas menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari Surabaya dengan kapal laut.
Cerita-cerita yang lucu dari mulut dek Evi memecah kesunyian yang aku dapatkan semenjak masuk rumah. Tawa dan candanya menghiasi sore hariku yang lumayan begitu mengesankan.
Adzan magrib mushola yang tak jauh dari rumah memanggilku untuk kembali menjalani rutinitas sewaktu kecil.
Menjadi muadzin kecil dengan ikut eyang kakung yang kadang menjadi imam di mushola.
****
Malam yang megah datang menggugah lelapku, mengeringkan mimpi yang yang menggenang di alam bawah sadarku. Langit hitam yang terhampar di luar rumah, memaksaku memotong mimpi panjang yang sia-sia terbuang. Tentang cita-cita, keluarga, tentang bapak, ibu, eyang kakung dan eyang putri, dek Evi dan tentang Ranti yang entah kapan lagi bisa ku temui.
Ranti yang kini telah terbang, membungkus diri dalam keranjang dan dikirim kilat ke negeri seberang, entah kapan dia pulang membunuh rindu dan penantian tak berpalang. Inikah yang ku sebut “diriku” sebagai “Penikmat Malam”? ini belum terjawab dan tampaknya aku masih seperti dulu. Masih disebut “Penikmat Malam Belum Menyentuh Bulan”.

TAMAT

Tentang Penulis
WAHYU LANGGENG PRASTIYO,
lahir di Grobogan tanggal 10 Juli 1989. mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Menulis karya sastra, khususnya puisi adalah hal yang paling menyenangkan baginya, tapi pada kali ini dia ingin merambah ke dunia sastra yang lain yaitu novel.
Pria yang pernah aktif menjadi Fungsionaris Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia ini, telah menelurkan Kumpulan Puisi “Penikmat Malam”. “Pesan Suami Liar” dalam Sebuah Antologi Puisi, Cerpen dan Drama dan “Pesan Suami Liar Dalam Kumpulan Puisi: Nakal”. Novel “Penikmat Malam Menyentuh Bulan” adalah edisi pertama dari Trilogi Novel “Menembus Angan” yang direncanakan selesai ketika Ia akam lulus kuliah nanti.

Selasa, 18 Mei 2010

Fatamorgana Kebahagiaan

melaut hatiku menciut
menguntit baut yang semakin mengrucut
melemahkan panca indra yang tercancang maut

aduhai sungguh nikmat,
belaian dari yang berhasrat
cuma takut aku sekarat
menerima bahagia yang terlumat
dan hanya bayang yang hanya menjilat

Minggu, 09 Mei 2010

Menggurah Asa

kesempatan mengundang suasana
menumpas rantas bekas di dada
mengiring gembala pagi buta
pulang ke rumah yang tiada dua

aku mengelus menghela
mendengar rakcak gemericik hujan yang perlahan reda

aku menuding merinding
menambal peri yang tengah mereda

dan harapan kembali menumpang menjala
dan kembali sapa menggurah asa

Jumat, 19 Maret 2010

Cover Pesan Suami Liar

PESAN SUAMI LIAR




Tuan Gila Cinta yang Menawan

Dan usailah penantian
Dia, dia, dia dan dia
Menurut padaku
Pada kepalsuan yang aku tawarkan

Mereka aku tawan
Dan asyiknya tak melawan
Bisa kumainkan
Sisi- sisinya perawan
Olehku sang pejantan
Tuan gila cinta yang menawan





Pesan Suami Liar

Sayang,
Malam ini aku tak pulang
Uangku ku gadaikan
Di belahan dada
Di pangkal paha
Gadis diskonan pinggir jalan

Sayang,
Nanti pagi aku baru pulang
Libidoku tertinggal
pada mamah nakal
pada tante yang sakit gatal
Butuh obat dariku yang binal

sayang,
mungkin juga besok sore aku
baru datang
isi celanaku terbawa
pada dua wanita
pada dekapan janda yang mengaku perawan desa

Sayang,
Sudah dulu,
Aku terburu nafsu
Ingin mencicipi susu











Jawaban Istri Setia

Mas,
Kapanpun kau pulang
Aku tega menendang
Burungmu yang terbang
Menempel di kembang ilalang

Mas,
Jika kau telah pulang
Aku akan racikan
Racun bisa mematikan
Ku pastikan kau merasakan





Rona Kemukus

Terlena matanya
Membungkus rona kemukus
Begitu perangainya halus

Aku mengaku,
Aku gila dalam tulus









Ketika Tak Kuasa
Kisah tragis seorang teman

Sudahi aku….
Ku telah meracun

Ku jangkitkan vaksin-vaksin kematian
Dengan tarian sperma-sperma kecilku
yang tumbuh menggerutu di rahimmu

sebenarnya,
mereka tak ingin lepas dari kandung kemihku

sudahi aku…
ku telah membisa

ku tuangkan liur-liur neraka
dengan bengisnya otot-otot pemaluku
yang merasuk masuk menusuk perutmu

tapi sebenarnya,
mereka tak ingin lepas dari tulang rusukku













Aku Berhenti dari …

Kusebar bedak-bedakku
Kuserut gincu-gincuku,
Kubuang penyangga payudaraku
Kucoba bergagah sesuai kelaminku

Kuberharap dipecat dari penjual nafsu








Pitam

Kelengkeng kecil bernoktah hitam
Menyela tenggorokan
Seketika itu pula,
Aku tersedak
Dak,
Dak,
Aku melihat
Setan itu masuk,
Membelaimu penuh nafsu
Kelemahanmu membuatku pitam






Nyanyian Iblis

Dia kubelai dengan roman-roman kemunafikan
Dengan tangan beringas bekakas kurang waras

Dia kumaki dengan sajak-sajak kemunkaran
Dengan lidah kalengan setengah terperban

Dia kutusuk dengan raut-raut kesesatan
Dengan tanduk cula belanga setan

Dia kusiksa dengan desah-desah kedzoliman
Dengan cemeti-cemeti peluntur iman

Dia akan jadikan pelapis dinding neraka




Hati:“Puas Sesaat”

Sengatanku melumpuhkan daya imaji
Menjelma raksasa syaiton menggegam tanganmu erat
Perekat meleleh putih merintih
Meminjam kenikmatan
Sepihak diantara kau dan aku,

Tak jelas mana timur dan barat
Hanya nafas yang mengerat
Seperti menggigit rusa yang jatuh sekarat

Kata dalam hati “puas sesaat”
Tak jadi lagi bila tak ada sepakat
Antara lalatmu dan kumbangku yang sering telat





Meng “itu”ku

Kemarin aku lihat “itu” diantara “itu” milikmu
Sedikit berkilau kematian,
Sedikit berbau kemesuman
Tapi cuma sebentar

“itu” nya mirip sebuah “itu” miliknya
Sedikit beda kelir dan bentuknya

Barusan aku lihat “itu” lagi di milikmu
Sedikit menggoda
Mengganga pula
Tapi lama benar

“itu”nya menarik perhatian “itu” yang milikku
Sulit mengendalikan “itu” memang
“itu”mu memang “itu”
Meng”itu”ku….

“itu”ku cuma ingin berkata:
-------“buka “itu”mu.
-------“bukalah sedikit “itu”mu
-------“sehingga “itu”ku bisa bisa melihat “itu”
Ha..ha…
Aku suka “itu” milikmu yang mengelus “itu” milikku


Belahan Pribadi

Bercabang-cabang kini pribadiku
Belahannya tak seimbang
Berat dikanan, tak ringanpun di kiri

Yang satu ingin memandangnya
Yang dua seperti ingin menamparku

Yang sana mengajakku berselimut bersama wanita
Yang sini mengajakku bersajadah bersama pria

Satu dan dua mengancam perang padaku
Menguliti sendi-sendi iman
Yang sekian lama terdiam
Dengan kesabaran sudah termakan




Kisah Malam Nanti

Selamat malam…
Perempuan dari surga dunia yang ternikmat
Mohon maaf…
Tak sengaja aku remas kesadaranmu
Terlampau haus menggila rakus
Aku terhadapmu

Mohon maaf…
Malam nanti aku ulangi
Ketajaman lidahku merayumu lagi
Dengan membuat birahimu tidur bersamaku
Berguling bergeliat diatas mantel diranjangku

Sekali lagi, mohon maaf…
Untuk perempuan bidadari khayangan
Yang meriang jika tidak diingatkan


Perampok Nyonya

Desing rampasan perampok tadi
Pesingnya kencing golok dileher nyonya
Sepusing mata-mata tajam disekitar

Dengan mengeja segala arah
Perampok tadi menyandra Anda
Nyonya,
Nyonya tua yang masih beri gairah

Tak jadi tergores kulit Anda
Nyonya,
Perampoknya tengah berliur pada Anda
Nyonya,
Ketahuilah para perampok suka Anda Nyonya,
Tinggal nyonya saja yang ingin pasrah
Pada nafsu perampok
Atau parah di tangan si golok

Sisipan dari Luar

Cek,
Cek,
Cek,
Ku beli plastik perekat
Ku pakai agak ketat
Di balik pantat

Cup,
Cup,
Cup,
Kau jangan takut
Kau bisa balut
Di dekat mulut

Cak,
Cak,
Cak,
Ku tarik sampai ke atas
Ku pegang agak panas
Di tahan pasti puas

Huh,
Hu,
Huh,
Kau jangan diam
Sepertilah kapal selam
Dan jangan bungkam

Ha,
Ha,
Ha,
Bukalah setengah
Biar ku terengah
Bebaslah pasrah

Sip,
Sip,
Sip,
Tersaji siap santap
Paling sedap
Dan akan termakan lahap

Dam,
Dam,
Dam,
Pas untukku yang tak bisa puas
Mengemas nafsu untuk tidak ikhlas











Sesaat Saat Sebelum Tidur

Ngantuk, terbatuk-batuk
Terantuk gebuk-gebuk virus insomnia
Mengancam ucapan manusia disampingku
Yang mengancam memotong lidahnya untukku
Karena lidah itu mengagali jasad terbinal dalam rohku
Ku pernah relakannya untukmu, tetapi tidak untuk sekarang
Saat inilah, bedaku membuat sakau lidahmu yang semoga bisa kelu
Ketika membongkar peti di hati yang rapi dengan bungkus yang halus lurus
Menyediakan kata-kata dari hatimu memutus rangkaian keringnya dahan pengait sakit
Yang tiada akan lama lagi menyamai sisi darimu yang membayang nafas ruang hampa padaku
Sisihkan tanganmu untuk mencekikku wahai wanita malamku…



Berzina dengan Mata Hati

Berlinang-linang tangisnya meradang
Menyandang sakit yang sengaja menjepit
Mata-matanya mulai liar
Mengancam pelampiasanku sambil mengejar
Ku tolak pinta pada neraka
Sebab ku tahu kuberzina dengan mata hatinya
Yang tandus tak pernah kena urus
Aku merasa bersalah.
Pada nona di hatiku








Koleksi Nafsu

Ku hitung dari satu sabu
Dua, layaknya neraka
Tiga, sampai pada kata tega
Empat, sekarang lagi kurang sempat
Lima, rupa-rupa warnanya
Enam, memang pernah terbenam
Tujuh, pernah serasa jauh
Delapan, sering beri aku dekapan
Sembilan, rasa sembilu pernuh perlahan
Sepuluh, aduh….
Sebelas, tak ada kata puas
Dua belas, tiada kata bekas

Hmm…..
Ternyata lengkap satu dosin pelacurku…



Presentasi Menjual Diri

Dan yang mana yang terpilih?
Pekat lorong berlendir
Jentik-jentik menjadi alas
Para pemuas nafsu na’as
Mengadu hati berharap sakti
Bisa menghasilkan uang sendiri

Mereka buka belahan
Sedikit menyingkap rok bawahan
Menggoda merayap melirik centil
Seperti tak menolak jika akan dihajar kasar
Dengan catatan kantung penuh cetakan bank

Bergeser ke arah seberang
Masih sama…
Di sana hanya cermin-cermin kehidupan yang bernanah
Panjang tak kenal arah
Dan tak tahu kapan berakhir
presentasi menjual diri


WAHYU LANGGENG PRASTIYO, lahir di Grobogan, 10 Juli 1989, mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Pernah menelurkan “Penikmat Malam” Kumpulan Puisi dan “Pesan Suami Liar” dalam Sebuah Antologi Puisi, Cerpen dan Drama sebagai aktualisasi dalam bersastra.
Pesan Suami Liar Dalam Kumpulan Puisi “Nakal” mencoba melebarkan wilayah sastra panutan di Indonesia.

Kamis, 28 Januari 2010


Pesan Suami Liar

Dalam Kumpulan Puisi “nakal”

Tuan Gila Cinta yang Menawan

Pesan Suami Liar

Jawaban Istri Setia

Rona Kemukus

Ketika Tak Kuasa

Aku Berhenti dari

Pitam

Nyanyian Iblis

Hati:“Puas Sesaat”

Meng “itu”ku

Belahan Pribadi

Kisah Malam Nanti

Perampok Nyonya

Sisipan dari Luar

Sesaat Saat Sebelum Tidur

Berzina dengan Mata Hati

Koleksi Nafsu

Wahyu Langgeng Prastiyo 2009

Tuan Gila Cinta yang Menawan

Dan usailah penantian

Dia, dia, dia dan dia

Menurut padaku

Pada kepalsuan yang aku tawarkan

Mereka aku tawan

Dan asyiknya tak melawan

Bisa kumainkan

Sisi- sisinya perawan

Olehku sang pejantan

Tuan gila cinta yang menawan

Pesan Suami Liar

Sayang,

Malam ini aku tak pulang

Uangku ku gadaikan

Di belahan dada

Di pangkal paha

Gadis diskonan pinggir jalan

Sayang,

Nanti pagi aku baru pulang

Libidoku tertinggal

pada mamah nakal

pada tante yang sakit gatal

Butuh obat dariku yang binal

sayang,

mungkin juga besok sore aku

baru datang

isi celanaku terbawa

pada dua wanita

pada dekapan janda yang mengaku perawan desa

Sayang,

Sudah dulu,

Aku terburu nafsu

Ingin mencicipi susu

Jawaban Istri Setia

Mas,

Kapanpun kau pulang

Aku tega menendang

Burungmu yang terbang

Menempel di kembang ilalang

Mas,

Jika kau telah pulang

Aku akan racikan

Racun bisa mematikan

Ku pastikan kau merasakan

Rona Kemukus

Terlena matanya

Membungkus rona kemukus

Begitu perangainya halus

Aku mengaku,

Aku gila dalam tulus

Ketika Tak Kuasa

Kisah tragis seorang teman

Sudahi aku….

Ku telah meracun

Ku jangkitkan vaksin-vaksin kematian

Dengan tarian sperma-sperma kecilku

yang tumbuh menggerutu di rahimmu

sebenarnya,

mereka tak ingin lepas dari kandung kemihku

sudahi aku…

ku telah membisa

ku tuangkan liur-liur neraka

dengan bengisnya otot-otot pemaluku

yang merasuk masuk menusuk perutmu

tapi sebenarnya,

mereka tak ingin lepas dari tulang rusukku

Aku Berhenti dari …

Kusebar bedak-bedakku

Kuserut gincu-gincuku,

Kubuang penyangga payudaraku

Kucoba bergagah sesuai kelaminku

Kuberharap dipecat dari penjual nafsu

Pitam

Kelengkeng kecil bernoktah hitam

Menyela tenggorokan

Seketika itu pula,

Aku tersedak

Dak,

Dak,

Aku melihat

Setan itu masuk,

Membelaimu penuh nafsu

Kelemahanmu membuatku pitam

Nyanyian Iblis

Dia kubelai dengan roman-roman kemunafikan

Dengan tangan beringas bekakas kurang waras

Dia kumaki dengan sajak-sajak kemunkaran

Dengan lidah kalengan setengah terperban

Dia kutusuk dengan raut-raut kesesatan

Dengan tanduk cula belanga setan

Dia kusiksa dengan desah-desah kedzoliman

Dengan cemeti-cemeti peluntur iman

Dia akan jadikan pelapis dinding neraka

Hati:“Puas Sesaat”

Sengatanku melumpuhkan daya imaji

Menjelma raksasa syaiton menggegam tanganmu erat

Perekat meleleh putih merintih

Meminjam kenikmatan

Sepihak diantara kau dan aku,

Tak jelas mana timur dan barat

Hanya nafas yang mengerat

Seperti menggigit rusa yang jatuh sekarat

Kata dalam hati “puas sesaat”

Tak jadi lagi bila tak ada sepakat

Antara lalatmu dan kumbangku yang sering telat

Meng “itu”ku

Kemarin aku lihat “itu” diantara “itu” milikmu

Sedikit berkilau kematian,

Sedikit berbau kemesuman

Tapi cuma sebentar

“itu” nya mirip sebuah “itu” miliknya

Sedikit beda kelir dan bentuknya

Barusan aku lihat “itu” lagi di milikmu

Sedikit menggoda

Mengganga pula

Tapi lama benar

“itu”nya menarik perhatian “itu” yang milikku

Sulit mengendalikan “itu” memang

“itu”mu memang “itu”

Meng”itu”ku….

“itu”ku cuma ingin berkata:

-------“buka “itu”mu.

-------“bukalah sedikit “itu”mu

-------“sehingga “itu”ku bisa bisa melihat “itu”

Ha..ha…

Aku suka “itu” milikmu yang mengelus “itu” milikku

Belahan Pribadi

Bercabang-cabang kini pribadiku

Belahannya tak seimbang

Berat dikanan, tak ringanpun di kiri

Yang satu ingin memandangnya

Yang dua seperti ingin menamparku

Yang sana mengajakku berselimut bersama wanita

Yang sini mengajakku bersajadah bersama pria

Satu dan dua mengancam perang padaku

Menguliti sendi-sendi iman

Yang sekian lama terdiam

Dengan kesabaran sudah termakan

Kisah Malam Nanti

Selamat malam…

Perempuan dari surga dunia yang ternikmat

Mohon maaf…

Tak sengaja aku remas kesadaranmu

Terlampau haus menggila rakus

Aku terhadapmu

Mohon maaf…

Malam nanti aku ulangi

Ketajaman lidahku merayumu lagi

Dengan membuat birahimu tidur bersamaku

Berguling bergeliat diatas mantel diranjangku

Sekali lagi, mohon maaf…

Untuk perempuan bidadari khayangan

Yang meriang jika tidak diingatkan

Perampok Nyonya

Desing rampasan perampok tadi

Pesingnya kencing golok dileher nyonya

Sepusing mata-mata tajam disekitar

Dengan mengeja segala arah

Perampok tadi menyandra Anda

Nyonya,

Nyonya tua yang masih beri gairah

Tak jadi tergores kulit Anda

Nyonya,

Perampoknya tengah berliur pada Anda

Nyonya,

Ketahuilah para perampok suka Anda Nyonya,

Tinggal nyonya saja yang ingin pasrah

Pada nafsu perampok

Atau parah di tangan si golok

Sisipan dari Luar

Cek,

Cek,

Cek,

Ku beli plastik perekat

Ku pakai agak ketat

Di balik pantat

Cup,

Cup,

Cup,

Kau jangan takut

Kau bisa balut

Di dekat mulut

Cak,

Cak,

Cak,

Ku tarik sampai ke atas

Ku pegang agak panas

Di tahan pasti puas

Huh,

Hu,

Huh,

Kau jangan diam

Sepertilah kapal selam

Dan jangan bungkam

Ha,

Ha,

Ha,

Bukalah setengah

Biar ku terengah

Bebaslah pasrah

Sip,

Sip,

Sip,

Tersaji siap santap

Paling sedap

Dan akan termakan lahap

Dam,

Dam,

Dam,

Pas untukku yang tak bisa puas

Mengemas nafsu untuk tidak ikhlas

Sesaat Saat Sebelum Tidur

Ngantuk, terbatuk-batuk

Terantuk gebuk-gebuk virus insomnia

Mengancam ucapan manusia disampingku

Yang mengancam memotong lidahnya untukku

Karena lidah itu mengagali jasad terbinal dalam rohku

Ku pernah relakannya untukmu, tetapi tidak untuk sekarang

Saat inilah, bedaku membuat sakau lidahmu yang semoga bisa kelu

Ketika membongkar peti di hati yang rapi dengan bungkus yang halus lurus

Menyediakan kata-kata dari hatimu memutus rangkaian keringnya dahan pengait sakit

Yang tiada akan lama lagi menyamai sisi darimu yang membayang nafas ruang hampa padaku

Sisihkan tanganmu untuk mencekikku wahai wanita malamku…

Berzina dengan Mata Hati

Berlinang-linang tangisnya meradang

Menyandang sakit yang sengaja menjepit

Mata-matanya mulai liar

Mengancam pelampiasanku sambil mengejar

Ku tolak pinta pada neraka

Sebab ku tahu kuberzina dengan mata hatinya

Yang tandus tak pernah kena urus

Aku merasa bersalah.

Pada nona di hatiku

Koleksi Nafsu

Ku hitung dari satu sabu

Dua, layaknya neraka

Tiga, sampai pada kata tega

Empat, sekarang lagi kurang sempat

Lima, rupa-rupa warnanya

Enam, memang pernah terbenam

Tujuh, pernah serasa jauh

Delapan, sering beri aku dekapan

Sembilan, rasa sembilu pernuh perlahan

Sepuluh, aduh….

Sebelas, tak ada kata puas

Dua belas, tiada kata bekas

Hmm…..

Ternyata lengkap satu dosin pelacurku…

Presentasi Menjual Diri

Dan yang mana yang terpilih?

Pekat lorong berlendir

Jentik-jentik menjadi alas

Para pemuas nafsu na’as

Mengadu hati berharap sakti

Bisa menghasilkan uang sendiri

Mereka buka belahan

Sedikit menyingkap rok bawahan

Menggoda merayap melirik centil

Seperti tak menolak jika akan dihajar kasar

Dengan catatan kantung penuh cetakan bank

Bergeser kea rah seberang

Masih sama…

Di sana hanya cermin-cermin kehidupan yang bernanah

Panjang tak kenal arah

Dan tak tahu kapan berakhir

presentasi menjual diri

WAHYU LANGGENG PRASTIYO, lahir di Grobogan, 10 Juli 1989, mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

Pernah menelurkan “Penikmat Malam” Kumpulan Puisi dan “Pesan Suami Liar” dalam Sebuah Antologi Puisi, Cerpen dan Drama sebagai aktualisasi dalam bersastra.

Pesan Suami Liar” Dalam Kumpulan Puisi Nakal mencoba melebarkan wilayah sastra panutan di Indonesia.

Jumat, 26 November 2010

Jelmaan Taring

lebih merinding,
kali ini pikiran saya lebih pening
seperti ditagih jodoh yang katanya penting

dua pilihan jelmaan taring
meggigit kedua belah otakku
melemahkan daya logika
antara solidaritas dan egoisitas
antara prioritas dan realitas

lebih ingin meringkas cerita rasanya,
dari pada mengingat pilihan yang menguras tanya

Selasa, 23 November 2010

Kuceritakan Mewah

melingkar pada tuas kasar
menindih badan, segera gusar

kuceritakan mewah
perjalanan seribu getar
lewati keributan telanjang hutan
hutan bualan lebih jadi pilihan
pilihan keindahan para pencari abdian

kuceritakan mewah
lintari kecemburuan antara pasir dan air
pasir air yang bergumul memasung pandangan
pandangan pasrah sekadar memelas
meminta keranjang siang menghantar

kuucap dengan mewah,
mantra pembunuh rasa lelah
beredar memudar di darah
kemudian pecah

Kamis, 18 November 2010

Aku Lupa Pulang,

aku lupa pulang,
sejenak bisa berulang hilang

penat seikat tapi nikmat
mengikat neraca hegemoni memuncak
untuk tidak naik turun berikan bercak

aku lupa pulang,
sejenak bisa berulang pandang

lebit singkat pekan bergulat
menimang pagi sebagai anak
sedikit liar untuk tersedak
meminum susu berkantung perak

aku lupa pulang,
sejenak bisa tepikan terang

bukan menandai para ilalang
tapi mengelusnya hingga temeram
aku tertidur diatas tikar hitam
menampar dingin yang menyingkap perlahan

aku lupa pulang,
buatkan aku secawan sampan
untuk kudayung menguras lautan

Sabtu, 16 Oktober 2010

Kumpulan Pantu "7ABC" Spega Ungaran 2010/2011



7A

Pergi ke Spanyol naik kuda lumping
Pulang-pulang membawa bakmi
Hatiku hancur berkeping-keping
Melihat pak Langgeng meninggalkan kami

(Wahyu Setiabudi)


Menunggu angkutan di Palang
Di Palang beri makanan banyak rasa
Terimakasih banyak Pak Lang
Karena Pak Lang banyak berjasa

Buah mangga buah pisang
Makan pisang sama teman kita
Terimakasih ya Pak Lang
Hanya Pak Lang yang kucinta

(Ishmet Dzorif A.)

Ke Ungaran membeli kain
Jangan lupa mengajak teman kita
Dibandingkan guru PPL yang lain
Hanya Pak Langgeng yang kucinta

Ke pasar Johar beli bandeng
Membeli bandeng Cuma tiga
Saya berdoa untuk Pak Langgeng
Supaya cepat punay keluarga

(Ferdian Adi C.)




Ke pasar beli ikan bandeng
Tak lupa beli ikan salem
Kami suka dibimbing Pak Langgeng
Karena sering nonton film

(Al Zena Vashti T.)

Jalan-jalan ke kota Jakarta
Pulang-pulang membawa buah berduri
Selamat tinggal guruku tercinta
Sampai jumpa di lain hari

(Dita Nur Hidayah)

Pergi ke pasar beli ikan bandeng
Yang menjual bapak tua
Saya sedih ditinggal pak langgeng
Dia selalu membuat tertawa

(Nur Cholilah)

Bunga mawar sangatlah indah
Bila dicium harum baunya
Jangan lupa beribadah
Kelak akan masuk surge

Timun emas membawa paku
Lari kencang takut raksasa
rajin membaca bertambah ilmu
Rajin bekerja bertambah harta

Harimau mengejar domba
Domba lari sangatlah cepat
Jika hidup banyak dosa
Jangan tunda untuk bertobat
Jalan-jalan ke kota Kerawang
Pulang-pulang membawa duku
Jika ingin umurmu panjang
Hormatilah orang tuamu

Beli baju beli celana
Belinya di pasar Ungaran
Jadilah anak yang bijaksana
Supaya sukses di masa depan

(Elisabeth Selvi O.)

Putri salju amatlah canttik
Baik budi suka menolong
Jika ingin jadi anak baik
Jika berbicara jangan bohong

(Tessya Ayu Amarta)



Jalan-jalan ke kota Medan
Tidak lupa membeli bandeng
Tidak terasa sudah 3 bulan
Waktunya berpisah sama Pak Langgeng

Dari hulu menuju kanan
Jangan lagi balik ke hulu
Maunya sih kepingin kenal
Apalah daya hati malu
(Lia Ardila Sari)




Makan nasi campur bandeng
Dicampur sama ikan pepes
Saya sedih ditinggal Pak Langgeng
Kalau pak Langgeng kembali ke Unnes

(Ananto Rahardian)

Jalan-jalan lihat bunga subur
Jangan lupa juga beli jamu
Jika ingin panjang umur
Hormatilah ayah dan ibumu

Jalan-jalan ke pulau Kalimantan
Lihat orang jadi jutawan
Jika patuh pada peraturan
Pasti selamat smapai tujuan

(Abbas Widyatma C.)


Pergi ke pasar membeli sirih
Tidak lupa membeli bandeng
Hati saya begitu sedih
Karena ditinggal oleh pak Langgeng

Jalan-jalan ke kota Malang
Sampai sana makan ikan bandeng
Hati ini sungguh senang
Punya guru seperti pak langgeng

(Ainul Fitria)




Pergi ke Arab naik onta
Pulang-pulang membawa kursi
Hati sedih tiada kira
Melihat PPL sudah pergi

(Bilqis Tsintani S.)

Adikku suka sekali pergi
Kalau pergi suka lari-lari
Kalau bapak Langgeng pergi
Siapa yang akan mengajari kami?

(A. Putri Ashari)

Jalan-jalan ke kota Pati
Jangan lupa membeli sirih
Ditinggal Pak Langgeng yang baik hati
Hati saya sangat sedih

Gurih nian ikan gurami
Tambah nikmat dengan bandeng
Hati saya senang sekali
Punya guru seperti Pak Langgeng

Jalan-jalan ke took batik
Jangan lupa membawa labu
Pak langgeng guru yang baik
Terimakasihku hanya untukmu

(Octavia Safira Audina)





Jalan-jalan ke pulau Bali
Jangan lupa membawa bandeng
Karna sifanya yang baik hati
Saya bangga sama pak langgeng

(Nega Rananti Retmadika)

Jalan-jalan ke kota Bangka
Tidak lupa singgah di kota Malang
Hati saya berbunga-bunga
Punya guru seperti Pak Lang

(Diendra Raditya Kusuma)

Ke pasar beli ikan bandeng
Tak lupa membeli sayuran
Kami suka dibimbing pak langgeng
Karena sangat menyenangkan

(Jelita Raudya T, S.)

Berakit-rakit ke hulu
Marilah kita berenang-renang
Bersakit-sakit dahulu
Tapi kalau sakit jangan berenang

(Setiyawan rahmadani)

Jalan-jalan ke kota Medan
Sampai Medan disengat lebah
Kalau mau banyak teman
Jadi orang haruslah tabah

(Dwiki Adi Matofan)

Ke Jogja naik sepur
Melihat adik menyusun kata
Hati ini merasa hancur
Melihat Pak Langgeng meninggalkan kita

(Metty Sarah K.)

Makan nasi pakai pete
Beli petenya di pasar
Aku pergi ke pulau Rote
Di pulau Rote aku kesasar

Pergi ke warteg minum sekoteng
Pergi ke pasar beli ketan
Teman bilang aku ganteng
Padahal aku kayak setan

(Igo Primadana)




7B



Aku suka makan bandeng
Kalau beli sendiri aku malu
Selamat jalan pak langgeng
Semoga engkau sehat selalu

Ke pasar membeli buku
Membeli bukunya sama orang Bali
Sungguh malangnya nasibku
Pak Langgeng tidak mengajarku kembali

(Tarasari Indriya W.)

Banyak sekali daun di pohon randu
Tak bisa berbuah terus gagal
Jangan pergi PPL, kamikan rindu
Tangislah hati karena ditinggal


Datanglah raja membawa riski
Riski dari Yang Maha Kuasa
Tangisan hati tiada henti
Hati menangis karena sakitnya


(Agitta sofyan Purwaningtyas)


Pagi-pagi minum jamu
Terpeleset tertusuk paku
Pengalaman bersamamu
Akan ku kenang diingatanku

(Rizal Abdul Jabbar Sadewo)


Ke pasar Ungaran beli bandeng
Tidak lupa beli cabe
Kalau ada guru pak Langgeng
Ceria rasanya kelas 7B

(Dwiki Adi Matofan)

Jalan-jalan ke kota Berlin
Jangan lupa beli duku
Dari bapak ibu guru PPL lain
Hanyalah pak Langgeng idolaku

(Rizqi Fitriyani)


Kabayan pergi ke dokter gigi
Ke dokter gigi naik kuda
Walaupun pak Langgeng harus pergi
Tetapi di hati kita selalu ada

(Errina Saputri)

Pergi Ke kebun memetik papaya
Papaya habis memetik lagi
Betapa sedih hati saya
Karena pak Langgeng harus pergi

Duduk-duduk di bawah pohon beringin
Sambil member makan ayam
Tertawa saya ingat jumat kemarin
Melihat bapak tidak bisa senam

(Farah Nur Rachmania)


Siang-siang pergi ke pantai
Sungguh panas matahari menyengat
Jangan lupa dengan kami
Anak 7B yang paling hebat

(Annisaa’ Nidya Utami)

Lambang cinta adalah hati
Hati tak enak bila disakiti
Pak Langgeng yang baik hati
Jangan pernah lupakan kami

Orang sakit dibawa ke rumah sakit
Diberi bubur tuk sarapan pagi
Hatiku ini sangat sakit
Dengar pak langgeng akan pergi

Sekarang ini banyak pengusaha
Pengusaha buah cermai
Jangan pernah berhenti berusaha
Sebelum cita-cita bapak tercapai

Memberi minum dengan penampan
Penampan dibeli di pasar pagi
Bapak memang orang tampan
Lebih tampan kalau tidak pergi

(Nora Filaela)

Ibu di rumah membuat ragi
Ibu dibantu sama Maya
Walaupun Pak Langgeng mau pergi
Tapi jangan lupakan 7B ya

(Dinny Pratikta A.)
Dua, tiga orang berlayar
Dapatkan ikan banyak sekali
Kalau kita rajin belajar
Pasti akan pandai sekali

(Airin Septianie)

Banyak kerang di pinggir pantai
Kerang pasir di jual di pasar
Bahasa Indonesia jadi pandai
Karena belajar pada orang yang pintar

(Siti Nur Roviatun)

Ada turis dating ke Jateng
Jatengnya kota Semarang
Waktu-waktu bersama Pak Langgeng
Akan selalu aku kenang

Pergi ke pasar beli blewah
Jika dimakan nikmat sekali
Jika kami pernah salah
Mohon jangan diambil hati

(Maulana Hidayatullah)


Ke Pasar kemiri beli bandeng
Jangan lupa mengajak si Ria
Guru PPl namanya pak Langgeng
Kelas 7B terasa ceria

(Dicky Ismailiandi P.)


Beli kawat dipasar pagi
Yang jual namanya Sonya
Pak Langgeng akan pergi
Marilah kita menghiburnya

Ke Makassar beli bandeng
Yang beli namanya Semu
Jangan sesih pak langgeng
Kami akan menghiburmu

(Puguh Sutrimo)

Ada anak naik odong-odong
Rambutnya dikuncir menggunkan pita
Janganlah engkau berbuat sombong
Agar engkau menjadi pilihan kita

(Trias Nilam Prabandari)

Jauh-jauh membeli paku
Membeli paku smapai ke Bekasi
Selamat tinggal bapak ibu guruku
kan ku kenang semua ini di hati

(Desy Nur Fadillah)
Warna merah buah strowberi
Dimakan sama bu Rere
Pak Guruku jangan lupa kami
Anak-anak kelas tujuh B

(Arina Mariyani)




Pohon bambu pohon selasih
Dikenat diatas batu bata
Hilangkan duka dan rasa sedih
Kukirim surat pelipur lara

Jalan-jalan ke kota Jogja
Jangan lupa membeli buku
Jadi orang tua harus bijaksana
Agar disayang anak dan cucu

(Egi Dwi N.)

Ibu-ibu pergi ke kota Malang
Bapak sedang bekerja bakti
Jangan kesal jangan bimbang
Karna sudah bertemu kami

Adik kecil sedang menangis
Menangis kaena dia ditimbang
Anak 7B takkan menangis
karena ditinggal Pak Lang

Jauh-jauh ke kota Jakarta
Jangan lupa melihat Monas
Kami senang bahasa Indonesia
Karena itu membuat kita cerdas

(Ikke Nur Halimah)

Banyak orang berlari-lari
Orang berlari makannya tumpeng
Aku bangga dan senang sekali
Karena diajar oleh Pak Langgeng


Ada perampok sedang ditahan
Perampok ditahan nasibnya sial
Ada pertemuan ada perpisahan
Maafkan kami yang nakal-nakal

(Aristia Jasmine Mentari Jatmko Putri)


Jalan-jalan ke pulau Kalimantan
Jangan lupa membeli alang-alang
Guru PPL itu begitu tampan
Termasuk Pak Zaenal dan Pak Lang

(Dayana Sukmarani F.)

Ada anak namanya Mimi
Dia senang bermain dengan kak Maia
Jangan engkau tinggalkan kami
Tetaplah menjadi guru yang setia

(Dhea Tsaibtah Mentari Putri.)

Ke Semarang beli bandeng
Bandengnya dimakan sama teman
Sungguh senang dengan pak Langgeng
Di samping tampan juga menyenangkan


Keliling kota mencari Pak Sugeng
Ketemunya di Semarang
Walau pisah dengan pak langgeng
Tetap semangat dan berjuang

(Meilani Surya Pamungkas)

Di tambak banyak ikan bandeng
Banyak juga ikan teri
Selamat tinggal pak Langgeng
Semoga kita berjumpa lagi

(Nurul Fadhilah)

Pergi ke wateg beli ketupat
Mampir ke pasar membeli kentang
Untuk apa pantun ini ku buat
Untuk pak Langgeng yang tersayang

Jalan-jalan ke Surakarta
Mampir minum ke rumah orang kaya
Selamat jalan PPl yang tercinta
Jangan lupakan kenangan dari saya

(Muchammad Ilham)

7B berlibur ke Bali
Pergi ke Bali beli bandeng
Guru kami sudah pergi
Selamat jalan pak Langgeng

Pergi ke lading pakai topi
Bertemu orang tak dikenal
Guru IPS telah pergi
Salah satunya pak Zaenal

Makan duren ada duri
Ada duri tak enak rasanya
Bu Risma mengajr tari
Semoga sukses Bu Risma

(Dinda Ayu Pertiwi)
Tukang pel namanya pak Sugeng
Ke Swalayan beli bakwan
Mas PPL namanya pak Langgeng
Dialah yang paling tampan

Mas fuad beli bandeng
Ke Jakarta dengan mbak Tia
Selamat tinggal pak langgeng
Semoga tetap bahagia

(Rizki Aldian Destanto)

7C

Pergi ke tambak ambil bandeng
Bandeng dibakar bersama kerang
Guru sastraku Pak Langgeng
Dari Universitas Negeri Semarang

Ada artis wajahnya ganteng
Dilihat wanita sangat menawan
Aku ingin seperti Pak Langgeng
Karena dia seorang ilmuan

(Rendi Sukma Wardana)

Ibu memasak menggunakan tungku
Tungku dinyalakan menghasilkan arang
Guru berkacamata itu
Emanglah guruku tersayang

Burung kutilang, burung hantu
Kutemukan di rumah si dia
Mari kita semua serukan
Aku cinta Bahasa Indonesia

(Alfiyatul Laeli M)

Anak manis bernama Caca
Caca manis karena senyumnya
Mari kita banyak membaca
Membaca itu banyak gunanya

Jatuh bangun lalu berlari
Berlari cepat sambil tersenyum
Jika ingin wajah berseri
Murahlah engkau dalam tersenyum

(Silvy Al Kurni)
Aura Kasih pergi ke Ungaran
Beli oleh-oleh di rumah Sylvi
Putri datang membawa perdamaian
Untuk Indonesia tercinta ini

(Putri Ayu Kurniasari)

Ada gajah tidak punya gading
Sedang lahap memakan roti
Kesan denganmu tiada tanding
Tak kan kulupa sampai mati

Ada anak namanya Sugeng
Sedang ingin membeli jamu
Selamat tinggal Pak Langgeng
Ku akan selalu merindukanmu

(Dedy Setiyawan)

Hujan lebat sangat deras
Sorenya turun pelangi
Aku memang anak yang cerdas
Makanya banyak yang mengagumi

(Novina Fanny Pitaya)

Anak ini dihajar mami
Naik sepeda menabrak kotak
Terima kasih telah mengajar kami
Anak Spega bangga pada bapak

(Wykan Andreawan-)



Daun pepaya dibuat jamu
Jamunya pahit diminum Danar
Rajin-rajinlah menuntut ilmu
Agar jadi orang yang pintar

Pergi ke Belanda naik becak
Sampai tahun depan tak pernah sampai
Agustya anak yang kocak
Kalau Pak Langgeng guru yang okai

(Erika Septia Dewi)


Bertamasya ke Kyai Langgeng
Melihat kera lucu sekali
Bisa belajar bersama Pak Langgeng
Puas rasanya hari ini

Bermain bola bersama Pak Somat
Walau sebentar terasa lama
Rajin-rajinlah melaksanakan shalat
Karena shalat tiang agama

(Arjun Maida Khoirul H.)

Pergi wisata ke kota baru
Jangan lupa beli papan
Jika dapat teman baru
Teman lama jangan dilupakan

Membuat rumah dari papan
Rumah papan terlihat di sana
Melihat dikau yang rupawan
Siapa orang tak terpesona

Libur lebaran ke Purbalingga
Ke Purbalingga membeli Keripik
Hati siapa yang tak bangga
Mempunyai guru yang terasik

(Arlina Raudhea Ashafa)


Ada orang berdiri kaku
Melihat hantu dia ketakutan
Banyak-banyaklah membaca buku
Karena buku sumber pengetahuan

Kenalan dengan si Nia
Nia anak orang kaya
Lihatlah Negara Indonesia
Yang kaya akan budaya

Mancing ikan dapat teri
Dimakan dengan lauk babat
Banggalah pada anak negeri
Anak negeri semua hebat

Bunga mawar itu berduri
Dilihat kucing lalu dipatah
Jangan khianati sahabat sendiri
Mencari sahabat itu susah

(Ghea Ayu N.)

Di Pati ada tugu tani
Di rumput ada putri malu
Hanya satu hatiku ini
Untuk SMP 3 selalu

Nenek ompong makan singkong
Tak kuat lagi untuk mengunyahnya
Jangan kamu suka berbohong
Berbohong itu tak ada gunanya

(Desty Amanda P.)

Liburan terakhir, kami ke sawah
Di sawah, kami malah membatik
Bila memang harus berpisah
Mungkin ini jalan terbaik

Di tepi hutan ada jerapah
Sedangkan di sawah ada petani
Hidup kami begitu indah
Bila PPL ada di sini

Kulit buah nangka dipegang kasar
Ditambah lagi banyak biji
Jasa kalian begitu besar
Hingga kami sepintar ini

Di jaman purba banyak gajah
Tapi mereka sering diburu
Walau kita akan berpisah
Semoga masih bisa bertemu

Panji itu seorang petualang
Dia melakukannya sambil bekerja
Jarak dan waktu tak jadi penghalang
Kita semua tetap saudara

(Ika Lutfia R.)


Buah kedondong, buah manggis
Buah durian, buah mangga
Janganlah engkau menangis
Bila nanti kau tinggalkan Spega

Jalan-jalan ke sarang naga
Lupa gak bawa oleh-oleh
Bila ingin masuk surga
Jadilah anak yang soleh

Mampir pasar beli jambu
Buat oleh-oleh pak Sugeng
Semoga Pak Langgeng sukses selalu
Selamat jalan Pak Langgeng yang ganteng

(Kevin Arindra Wibowo)

Patrick Star makan ikan
Spongebob datang bawa makanan
Janganlah sedih dengan perpisahan
karena perpisahan awal pertemuan

(Agustya Amini)

Apalah tanda bintang timur?
Sinarnya terang sampai ke fajar
Apalah tanda orang yang jujur?
Hati mulia perkataannya benar

Burung elang mencari makan
Burung unta berlari kencang
Banyaklah member perhatian
Agar pacarmu semakin sayang

(Kornelius Satria Budiyanto)
Ada kucing di luar rumah
Ke sana kemari mencari mangsa
Sejak kecil tidak punya rumah
Kalau sudah besar pasti sengsara

Ada ular di daun kates
Ada ular di dalam kamar
Nanti besar menjadi orang sukses
Karena sejak kecil rajin belajar

(Feti Yulianti)

Truk sampah roda bergigi
Jalannya seperti unta
Meski jumpa sampai di sini
Kan teringat sepanjang masa

Burung beo burung kenari
Tak bersuara di malam hari
Mala mini aku sendiri
Tak seorangpun yang menemani

(M. Fastabib Fais A.)


Bunga mawar bunga kenanga
Tumbuh di hutan lebat
Guru Bahasa Indonesia kita
Ya Pak Langgeng paling hebat

(Diana Pangestuti)




Pohon jati tinggi sekali
Tak ada buahnya namun indah
Pak langgeng ganteng sekali
Melihat wajahnya yang cerah

(Feri Alvian)

Bermain di sawah mencari belalang
Habis hujan melihat pelangi
Kalau kita berumur panjang
Semoga kita bisa berjumpa lagi

(Hepi Wulandari)

Ada nelayan sedang belayar
Tak terduga terkena tinta
Kalau kita rajin belajar
Pasti bisa raih cita-cita

Ada anak jalan di trotoar
Disebrangkan oleh polisi
Bila kita rajin belajar
Pasti bisa berprestasi

(Nora Safitri)

Buah mangga buah kedondong
Buah kedondong masam rasanya
Janganlah kamu suka berbohong
Karena akan mendapat dosa

Makan rujak di kota Godong
Belinya di pasar raya
Jadi orang jangan sombong
Karna sombong tak ada gunanya
Kalau punya makanan enak
Jangan lupa bagi-bagi
Kalau punya rejeki banyak
Jangan kamu sombongkan diri

(Nadhifa Hasna Fauziyah)

Hari libur ke rumah mini
Di rumah mini bersuka ria
Cintailah negri ini
Aku cinta Indonesia

Ada buah namanya ace
Buah yang busuk jatuh ke sungai
Jangan lupakan anak 7C
Karena mereka pandai-pandai

(Tyas Ndaru Widyastuti)


Ke Jogja membeli batik
Tak lupa membeli bakpia
Kalau ingin menjadi anak baik
Berbaktilah pada orang tua

Ada kutu menggendong gajah
Jatuh ketanah dimakan buaya
Kalau ingin membuang sampah
Buanglah pada tempatnya

(Fidelis Diptya Kotaman)




Berwisata ke Terusan Suez
Dikawal oleh Pak Komandan
Terima kasih PPL Unnes
Yang senang membagi ilmu dan kesan

Membawa pacul sambil bersawah
Padi dipanen petani riang
Walau kita kan berpisah
Tapi hati masih mengenang

(Shofi Ulfa Hidayah)


Ada ikan memancing cumi
Warnanya kuning keemasan
Jangan suka makan indomie
Karena bisa merusak badan

(Kresna Aji Santoso)


Panas-panas makan buah mangga
Menghilangkan rasa lelah
Bila kamu ingin masuk surga
Banyak-banyaklah beribadah

Gula aren gula jawa
Dimakan rasanya manis
Jangan banyak-banyak tertawa
Nanti kamu bisa menangis

(Ervana Putri R.)



Ada kutu naik manusia
Si kutu malah makan darah
Ada guru Bahasa Indonesia
Inspirasi kita menjadi bertambah

(Sri Pemenang W.T.N.)



Ke Siwarak ikut berenang
Pulang-pulang membawa mangga
Hati bapak begitu senang
Memandang 7A yang berbunga-bunga

Bola sepak dimakan buaya
Buaya sakit sambil meringis
Hati bapak begitu bahagia
Melihat 7B yang manis-manis

Memasak nasi di atas bara
Bara dibawa di atas lori
Hati bapak begitu gembira
Melihat 7C yang berseri-seri

Beli kapak ke negeri sebelah
Pulang-pulang membawa ikan
Jika bapak punya salah
Mohon segera bisa dimaafkan

Ada selasih di meja makan
Disajikan dengan buah markisa
Terima kasih bapak ucapkan
Untuk pertemuan yang luar biasa

Beli rujak buahnya mangga
Sedikit dicampur buah semangka
Meski bapak tidak lagi di Spega
Janganlah kalian sedih dan berduka

Berlibur ke sungai Gangga Berangkatnya dari kota Banjar Meski bapak tidak lagi di Spega Kalian harus tetap rajin belajar
Pesan :
Spega Ungaran, sekolah yang luar biasa. Luar biasa kenapa? Karena Spega mempunyai kalian, kalian yang memiliki semangat belajar yang luar biasa, semangat keingintahuan yang dahsyat ! semangat belajar yang begitu hebat.
Tetap jaga semangat kalian hingga lulus nanti. Nikmati pelajaran demi pelajaran yang diberikan oleh bapak ibu guru, pasti semua akan ada manfaatnya untuk kalian di masa yang akan datang. Tumbuhlah menjadi manusia yang berguna bagi siapa saja, baik berguna bagi sesama teman, orang tua, keluarga, agama bahkan nusa dan bangsa.
Pesan dari bapak adalah 3B. Berdoa, Berjuang dan Bersyukur. Berdoalah sebelum kalian belajar. Berjuanglah untuk mendapatkan ilmu yang kalian inginkan, tentunya dengan nilai yang memuaskan. Bersyukurlah kepada Tuhan atas apa yang telah kalian dapatkan, setelah kalian benar-benar berdoa dan berjuang untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan, meskipun kadang tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan.
Anak-anakku yang tersayang, tes tengah semester tinggal menghitung hari. Persiapkan diri kalian dengan berdoa, berjuang dengan giat belajar dan jaga kesehatan agar bisa menjalani tes midsemester dengan maksimal.
Semoga sukses dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Amin.
Mohon maaf tidak semua karya dari kalian bisa bapak tampilkan, karena keterbatasan pada banyak hal. Terima kasih untuk kalian yang telah ikut berkarya dengan bapak. Tetap berkarya dan jangan menyerah!
Karya-karya dalam buku ini bisa dilihat di blognya bapak dengan alamat www.denelanggeng.blogspot.com. Semoga kita bisa berjumpa lagi dalam kesempatan yang laini. Amin.
Tetap semangat !!!

Selasa, 28 September 2010

Hujan Mereda

Hujan Mereda:

meraba kulit terjangkit
oleh rindu teramat sulit
dapat penawarnyapun cuma sedikit
tetap pada tempat dan selalu bangkit

Exboss

Jumat, 24 September 2010

Sekadar Berpikir Pendek

denkur tergusur:

Entah diam dalam sebuah kurungan
Menggali lubang untuk pulang
Aku sembilu mulai memikirkan
Jalan tepat tak kembali meradang

Petang Menggenggam:

Menguntit naluri penuh geram
memasang perangkap dipadang pendam
aku tidur penuh diam
mengangkat kepala tanda tertikam

pagi kembali berlari:

berasa arwah terbagi
menantang buas di diri
membuka lebar berjudi nadi
pungkasnya, darah perih akan mati

Jumat, 27 Agustus 2010

Pemburu Kaki

Bukan penyihir yang main sindir
Bukan pelari yang gagal menari
aku lebih sering menjadi pemburu kaki
meneriakkan berhenti pada si tuli
mencari acak nanah di diri

aku lebih sering membangkang
dari pada menyerang

aku lebih suka merinding
dari pada berbaring

aku lebih ingin berbenah,
dan tak ingin menengadah

aku lebih pantas dimaki
ketika aku akan pergi

tidaklah layak untuk disesali,
ketika aku telah membeli belati tak berhati

Sabtu, 14 Agustus 2010

Sepaha

Senandung pagi hari:

Membiarkan dahaga mendaki
Tancapkan belati di dada kiri
Entah kenapa aku ini
Melingkar ingkar pada diri

Senin, 09 Agustus 2010

Aku Memang

aku memang mencintaimu dengan berkelana
dengan bata yang tak bisa dibawakan
bayu kepada ku yang menggoreskan abu

aku memang mencintaiku dengan berkelana
dengan semburat yang tak bisa dibelaikan
awan kepada ku yang menuliskan balada

Jumat, 23 Juli 2010

Mengiring Malam I

Satu Putaran bulan
Syukur telah terlewatkan
Menggapai kebahagiaan
itulah impian dan tujuan

Termakan rindu tak bertuan
itulah nikmat tak tergantikan
tetaplah tersenyum untuk yang merindukan

Sabtu, 10 Juli 2010

PENIKMAT MALAM MENYENTUH BULAN




Serpihan Awal

Gelap merayap pada patahan-patahan langit, membagi tanda mata menyala dan menyalak, sebuah petir yang sengaja memelintir telinga. Awan-awan menggembung, sedikit menyentuh cakrawala kota Semarang yang mengayun denyut jantung yang kian cepat menemukan detakannya. Benang-benang angin menyapu tetes-tetes matanya yang tak terpelihara. Lapisan tanah liat tipis telah akrab dengan susunannya, terinjak oleh jeruji-jeruji hujan yang jatuh dari khayangan. Mengusir burung layang-layang linglung mencari jalan pulang.
Aku terdampar bersamanya di atap rumah, menguji hati untuk tumbuh dewasa. Ku lihat dia berdiri tak bersuara, menundukkan kepala tanpa berkata. Aku hanya bisa duduk menekuk kakiku, tak ingin mengganggunya yang sedang masuk dalam khayalan tingkat tinggi. Aku pun diam, hanya sesekali terbatuk-batuk untuk mencoba mencairkan suasana. Mungkin aku terlalu gaduh baginya, untuk sesuatu yang ia belum tahu. Sesekali aku menengoknya, matanya merah seperti menahan marah, tapi dia menagis. Kedua tangannya menggenggam, rasanya ia memendam kekesalan padaku yang amat dalam. Ku rasakan getaran kakinya di tempat aku duduk. Aku jelas di sampingnya, tapi aku rasa semakin lama semakin jauh jarakku dengannya.
Pakaian yang ku kenakan telah mengering , tapi dia pun masih enggan bicara padaku. Matanya masih memandang kosong ke arah timur laut, ke arah tujuan ku di hari esok. Tubuh ini rasanya sudah bosan menunggu tanpa ucapan sedikitpun darinya. Hanya tangis yang menjawab pandanganku terhadapnya. Aku beranjak, berharap ia mau rela memandangku. Tak ku sangka, ia masih tak mau menoleh.
“Ranti, katakanlah sesuatu untukku….aku hendak pergi tapi kau malah diam begini… ada apa denganmu?”
Sedikit ungkapan dariku yang terlisan hanya dalam batin.
Aku memilih melangkah sedikit demi sedikit untuk meninggalkannya yang masih terdiam, dengan harapan ia mau memanggilku. Tapi, ia masih saja berdiri terpaku. Mungkin ia sedang memikirkan kalimat pertamaku tadi yang terhenti oleh petir yang mengawali tangisnya. Ku lanjutkan langkah dengan menuruni anak tangga yang rasanya licin sekali, seolah menghadangku untuk meninggalkannya sendiri di atas sana. Satu-persatu anak tangga ku injak dengan penuh kehati-hatian dan harapan.
Semenit kemudian, aku sampai di luar pagar rumahnya yang hampir semua tertutup bunga rambat. ku bunyikan bel sepedaku berkali-kali untuk menarik perhatiannya. Begitu cantiknya dia, ketika ia palingkan muka dan melemparkan senyum terindahnya kepadaku, kemudian ia berteriak “pergilah dengan citamu dan akan ku iringi larimu dengan hatiku yang menunggu cerita cinta yang tertunda di masa lalu untuk masa depan, ketika kau dan aku saling berhadapan kembali”
Kemudian aku jawab “ aku akan jadi penikmat malam yang akan memandang bulan yang sama, ketika kaupun juga memandangnya”
Kayuhan kakiku terasa ringan meluncurkan pedal sepeda, untuk pulang berkemas dan bergegas pergi ke Surabaya mengikuti orang tua dan berusaha meraih cita di sana.













Tangisan Itu…



Minggu pertamaku bekerja sebagai pelayan kapal, aku hanya disibukkan untuk mencuci piring di dapur kapal sesekali aku disuruh Kepala Dapur untuk mengambil air minum di gladak kapal paling bawah tempat parkir kendaraan air. Tiap hari, dari pagi menjelang malam hanya itu yang harus lakukan untuk meraba profesi seorang pelayan kapal. Tentunya ini jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan 2 tahun lalu dan tak seperti apa yang dijanjikan pihak sekolah tinggi kepariwisataan di Surabaya itu. Dalam bayanganku begitu megah kapal pesiar yang berlabel bonafit yang akan menjadi tempat kerjaku nanti, tapi ternyata setelah lulus aku hanya ditempatkan di kapal feri penyeberangan Jawa-Kalimantan yang berpusat di Semarang. Memang kapalku ini termasuk kapal terbaik yang dimiliki oleh perusahaan tapi ini tetaplah jauh dari bayanganku sebelumnya.
Seperti hari- hari sebelumnya di kapal. Setelah jam kerjaku selesai , tiap tengah malam menjelang aku berusaha mendekatkan diri pada malam, mengenang ucapanku tiga tahun lalu. Aku berdiri di tepi gladak paling bawah kapal sedikit menikmati indahnya sinar bulan. Angin yang begitu deras menerpa membuat tanganku gemetar berpegangan pada besi kapal. Langit yang hitam seperti ingin bicara padaku bahwa malam ini hujan akan kembali menghampiri laut jawa.
Tangisan-tangisan kecil dari dalam bak sebuah truk yang dikerubuti terpal biru yang lusuh menyapaku di malam yang kian dingin. Truk itu tepat berhenti di depanku.
“Hei bung, kau lihat apa?!” bentak supir truk dengan logat bugisnya padaku.
“ Maaf, pak” jawabku singkat sembari menolehkan pandangan.
Aku hanya diam, sedikit terbersit dalam pikiranku sebuah keanehan. Entah apa, tapi kupastikan ini sebuah ketidakwajaran. Dalam sebuah truk yang seharusnya memuat bahan makanan kemungkinan diisi sekitar puluhan anak gadis dibawah umur. Tangisannya pun terdengar bersautan tapi hanya sayup-sayup karena tersapu angin laut.
Langkahku berpindah dari tepi gladak sedikit ke sudut tempat parkir, dekat dengan tumpukan kardus-kardus pakaian bekas yang akan dijual ke Kalimantan. Pikiranku masih tertarik dengan fenomena yang terjadi dalam truk itu sesekali aku tetap memperhatikan truk yag bercat kuning itu. Setelah beberapa jam aku menunggu kesempatan, sopir truk yang berperawakan tinggi besar dan berkumis tebal itu akhirnya tertidur pulas. Tak lama kemudian kernetnya pun ikut terlelap.
Suara-suara yang tiada henti itu mendorongku untuk mendekatinya. Sambil ku perhatikan sekeliling. Yang hanya ada barang-barang dagangan dan beberapa pedagang yang tidur menunggui dagangannya yang hampir busuk, langkah kakiku tertuju pada suara-suara yang semakin kuat terdengar dari bak truk. Setelah dekat, suara itu sekejap hilang dari pendengaranku. Perlahan ku buka terpal biru yang menutupinya, hanya terlihat tumpukan karung berisi sayur mayur, beras dan bahan makanan lainnya. Aku kembali memikirkan sebuah keanehan yang telah ku alami.
Sambil berjalan dengan sedikit linglung pertanda tak percaya dengan apa yang kurasakan, ku jauhi truk yang penuh misteri itu. Mencoba meraba jawaban misteri mala mini lewat loncatan jaringan neuron yang ada dalam otakku. Mungkin keanehan ini tidak bisa dibuka dengan indera-indera yang kentara, tapi mungkin hanya bisa dilihat lewat mata batin.
Ku sudahi pikiran yang mungkin bisa dikatakan “mblinger” ini dengan merebahkan diri di kursi panjang tempat istirahat para ABK kapal. Kupandangi lampu kapal yang berada tepat 2 meter di atasku, lampu kecil yang kelihatan usang dan seperti terpasang sudah lama itu masih terlihat terang. Sorot cahayanya menelusup jauh ke dalam mata. Menawarkan khayalan terbang khayangan mengingat sebuah kenangan. Tapi itu akhirnya ku abaikan saja, karena badan dan otak ini sudah tak kuasa untuk memijak alam khayal yang pasti akan membuat ketagihan untuk selalu meneruskan dan meneruskan kahayalan tentang kenangan. Memang susah untuk melupakan kata-kata yang sempat terlisan dalam sebuah perpisahan.
Hari terakhir sebelum sampai pelabuhan penyebrangan di Kalimantan. Hujan di tengah laut menyambut. Burung-burung kian jauh terbang ke utara menghindari gerimis kecil laut Jawa. Para nelayan pun seakan menjauh dari cakrawala, memacu pulang perahu motor dengan membawa tumpukan keranjang ikan segar hasil tangkapan tadi malam.
Pagi ini hanya kuhabiskan untuk mencuci sayur, piring dan mengambil air untuk keperluan para awak kapal dan penumpang VIP. Seperti hari-hari sebelumnya hanya itu yang kulakukan di atas kapal.
“Pak Atmo, adakah yang bisa aku lakukan selain mencuci piring dan mengambil air? Saya bosan tiap hanya itu yang saya lakukan.” keluhku pada nahkoda kapal yang sedang mengontrol kinerja para koki.
“oh kamu yang ABK baru itu ya?, maaf namanya siapa?
“iya pak, Saya Arya. ABK yang baru masuk minggu lalu” jawabku dengan senyum.
“ oya, Saya ingat. Kamu yang lulusan Surabaya itu ya? Anaknya pak Atmojo, keamanan pelabuhnan.
“benar sekali kata bapak, tapi kok bapak tahu mengenai ayah Saya?
“oh iya, dulu Saya teman sekelas bapakmu waktu di SMP, jadi Saya sudah lama kenal. Apalagi sekarang kerjanya sama-sama di bidang kelautan, sering bisnis bareng pula, jadi tambah akrab, wes kaya sedulur dhewe.hehehe”. jelas pak Atmo sambil menepuk pundakku.
“loh sudah seperti saudara,?’sedikit terheran.
“dek Arya sudah dulu ya kapan-kapan kita lanjutkan lagi, saya mau mengontrol bagian mesin kapal dulu, takut-takut nanti ada yang salah”.
Ku jawab hanya dengan senyuman dan sedikit tundukan kepala sebagai rasa hormat kepada atasan.
Hati ini kembali ciut dengan tidak terjawabnya pertanyaanku, Adakah yang bisa kulakukan selain mencuci dan mengambil air?
Sore hari keempat. aku masih saja disibukkan dengan pekerjaanku yang monoton itu. Keluhku hanya kusimpan dalam hati, karena aku sadar aku hanyalahABK yang baru yang belum punya hak lebih di kapal ini.
Jam kerjaku hari ini selesai, secara mendadak aku diinstruksikan oleh kepala dapur untuk mengantar makan malam untuk para pekerja di bagian mesin.
Pekerjaan antar-mengantar ini lah yang lazimnya kau jalani sebagai pramusaji lulusan dari akademi kepariwisataan, bukan mencuci piring dan mengambil air.
Makan malam dengan menu ingkung lengkap dengan sambal trasi dan lalapan, ditaruh dalam nampan anyaman rotan. Wangi panggangannya seketika itu pula menyebar ke seluruh ruang mesin kapal. Ditambah harumnya aroma wedang jahe yang begitu menyibakkan indra penciuman, melengkapi suasana malam yang kental akan suara debur ombak. Kutaruh sejajar lima piring bercorak bunga sepatu dan gelas bening bertuliskan D45.
Sengaja tak kubawakan perangkat sendok garpu, karena menurut Pak Yatmo kepala dapur yang sudah 5tahun bekerja, para petugas mesin suka muluk untuk menikmati makan malam yang tiap kali dihidangkan untuk mereka.
Sambutan yang penuh kehangatan langsung kurasakan ketika masuk dalam ruangan tempat para pekerja mesin beristirahat, yang dihiasi gantungan baju kotor yang berantakan berbau oli yang menyengat mengendap lama dalam ruangan penat. Baunya persis dan khas bengkel motor di sebelah rumah masa kecilku yang ku tinggal selepas SMA yang mungkin sekarang telah kumuh karena t ak pernah dirawat.
“Matur nuwun, sudah diantarkan makanannya” ucap salah sat orang pekerja padaku.
“nggeh pak, sama-sama” jawabku singkat.
Dari balik mesin kapal, tampak berjalan tergopoh-gopoh seorang kakek yang mengenakan celana pendek warna hitam dengan kemeja putih yang lusuh melekat di badan, ia terburu-buru mengambil segelas wedang jahe yang telah tersuguh. Diminumnya wedang jahe yang masih mengepulkan asap itu deengan cepat.
“uhuk…uhuk…huk…” kakek tua itu terbatuk dan memuntahkan wedang jahe karena kepanasan.
“yang pelan tho mbah, kalo minum…” kata salah seorang pekerja.
kakek itu tak menghiraukan perkataan dari rekan kerjannya itu. Ia malah berjalan mendekatiku yang masih menata piring-piring bekas makan siang tadi.
“ le, kamu ABK baru di kapal ini? Aku ndak pernah ketemu kamu sebelumnya” Tanya kakek itu padaku.
“nggih mbah, saya ABK baru disini, ini pelayaran perdana saya”
“benar dugaanku, namamu siapa le?”
“Arya mbah, Arya Putro Atmojo lengkapnya.”
Jawabku sambil tersenyum.
“Owh.. wajah dan matamu mirip penjaga Tanjung Mas le, namanya juga Atmojo.”
“beliau bapak Saya mbah, mbah kenal?”
“ yo kenal toh, hehe…, ya wes, ayo bareng-bareng makan disini dulu, biar akrab sama yang lain”
Ajakan kakek itu hanya bisa kubalas dengan senyum dan langkahan kaki untuk bergabung dengan lima pekerja mesin lainnya. Perkumpulan itu hanya membicarakan ikhwal-ikhwal yang jarang aku dengar, apalagi aku juga ikut membicarakannya. Hal-hal mengenai hubungan antara suami dan istri menjadi hal pokok yang hangat di mulut para perokok ini. Sambil bermain gaple ditemani wedang jahe mereka semangat sekali bercerita mengenai keluarganya. Masing-masing dari mereka bergantian mengisahkan tentang anak dan istri mereka yang telah ditinggal beberapa bulan bahkan ada yang sampai tahunan, entah ditinggal di pulau jawa ataupun Kalimantan. Perpisahan yang bisa dibilang cukup lama ini, membuat psikologi para pekerja mesin sedikit terganggagu.
“bini ku bunting!, kagak tau sekarang udeh nglahirin ape belum” celoteh salah seorang pekerja yang mengaku betawi asli.
“biarin aja kang, bojoku juga ndak tak urusin kok.
Dia bisa mbrojol sendiri tanpa aku” sahut salah satu yang lain.
“ kalian kurang parah, aku malah metengi bocah ndak tak kawini, tak tinggal ngapal di sini. Sekarang keluargane binggung nyari aku. Hahahahaha” sahut seorang lagi yang sepertinya tak pernah pulang.
Aku hanya diam, merasa dalam belenggu kata-kata yang saling menyahut, yang menyebutkan semua borok-borok yang ada di sekitarku. Suasana lebih parah terjadi, saat ku mulai beranjak pergi, mata-mata mereka seperti mengikutiku. Aku ingin menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan ini.
“ awak-awakmu ternyata sama saja, jan rak nggenah!, nek aku yo parah meneh.. bojoku tak tinggal anakku tak dol ning Kalimantan! Hahahhaa…” tawa salah seorang dari mereka yang tampak paling tua selain kakek tua tadi.
Pikiranku kembali tersulut pada sekam pemikiran tengah malam kemarin, setelah perkataan yang menyentuh hal penjualan anak., kucoba selami perkataan tersebut pikiran ku itu menarikku untuk kembali melihat isi truk misterius itu yang berisi tangisan-tangisan peradang pikirku. Perlahan kaki ini melangkah, tapi seseorang menarik kemeja dan menaruh tangan di pundak dari belakang, perlahan ku tolehkan kepala, terlihat tangan yang keriput dengan penuh bekas luka.
“pasti kamu bingung le, biarkan saja mereka. Mereka memang sudah edan. Mereka ndak punya gawean lain selain cerita-cerita yang aneh, seperti itu”
Meskipun telah ditenangkan, tetap saja pikiranku tidak tenang, terasa magnet kemisteriusan dalam truk itu semakin kuat menarikku. Dengan menghela nafas, kukumpulkan segenap keberanian untuk lebih dalam menggali informasi mengenai kejanggalan pada truk itu.
Tepat tengah malam, selepas mengambil sisa makanan dan piring kotor di ruang mesin, aku putuskan untuk melihat kembali truk misterius itu. Sesampainya di pintu masuk gladak paling bawah, tangisan itu kembali terdengar dengan sesekali panggilan kepada seseorang untuk minta tolong.
“aa…a…a…a…, mbak tolong aku, tolong aku…..”
Suara yang kemarin terdengar kurang jelas, sekarang seperti telah menyatu pada satu suara saja, suara pinta tolong. Jantung ini serasa mencapai puncak deguban tercepat, seolah aku akan menghadapi eksekusi gantung diri. Nafaskupun rasanya menipis, seperti tiada udara lagi yang bisa ku hirup ketika ku simak rintihan pinta tolong itu. Berkali-kali rintihan itu menusuk telingaku, hingga ku tak sabar untuk membuka misteri truk yang menangis itu.
Setelah satu kakiku masuk gladak, kuperhatikan sekeliling, di antara truk yang berjajar, tumpukan kardus dan karung makanan berjajar dengan rapi, di pojok dan di sela tumpukan para pedagang tengah tertidur, adapula pedangang yang masih sibuk mempersiapkan dagangan untuk nanti setibanya di sebrang.
Ku jejaki langkah yang sama seperti biasanya aku menikmati indahnya bulan. Tepat di sebelah truk, langkah ku terhenti, suara itu semakin kuat ketika aku coba mendekat. Sopir truk kuperhatikan masih sibuk didalam truk dengan minuman ditangan, sesekali ia muntahkan minumannya keluar jendela dan berkata-kata kotor pada kernetnya, kata-katanya pun tak karuan seperti orang gila. Mereka berdua tampaknya sedang mabuk minuman keras.
Ku manfaatkan keadaan mereka yang sedang mabuk dengan sedikit demi sedikit menyelinap di bagian belakang truk. Bak truk yang masih rapi dikerubuti terpal biru itu mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bau yang menyengat itu sedikit menghambatku untuk membuka semua bagian yang menutupi bak.
Seolah aku dipaksa rasa penasaranku, meski bau tetap kubuka terpal biru yang lusuh itu. Terlihat jelas tumpukan sayur mayur yang busuk dirubung lalat biru. Bau busuknya semakin menyeruak keluar, mungkin akan membangunkan seisi gladak yang tengah tertidur pulas. Sambil menutup hidung, kakiku beranjak naik memanjat, menginjak karungan kol yang telah membusuk. Ku buka dan ku geser karung-karung yang penuh lalat, namun belum kutemukan sumber suara itu. Bagian terluar truk terus ku geser satu persatu, dari tumpukan kol paling bawah, wortel, bawang merah dan tomat yang paling atas sudah ku bongkar ku jadikan tumpukannya sejajar, namun belum ada tanda-tanda suara itu berhenti. Aku semakin dalam masuk perguluman dengan bau, mendeteksi suara minta tolong yang belum mau berhenti dengan kedatanganku.
Setelah ku temukan sebuah kotak kayu yang bentuknya mirip peti harta karun yang ukuranya sama dengan peti mati, suara itu melirih. Peti itu membujur tepat mengisi lebar bak truk, di atasnya diletakkan kardus-kardus berisi mie instan yang sepertinya juga sudah kadaluarsa, terlihat pada label kadaluarsa di luar kardus yang bertuliskan 6 Juli 2001. Setelah semua kardus ku turunkan terlihatlah jelas bagian atas peti itu. Beruntunglah aku, peti sumber suara itu tak dikunci pemiliknya, secara leluasa bisa ku buka.
Terperanjat aku, ketika ku buka isinya yang tak kuduga sebelumnya. Seketika itu pula, nafasku tersedak, darah serasa berhenti mengalir di kepalaku.
“Astaughfirullah….” Ku ucapkan berkali-kali untuk menenangkan diri melihat mayat gadis kecil yang lehernya bergantung kalung emas berhuruf W yang mulut dan matanya masih membuka lebar.


Pulang
untuk Kecewa

Matahari sore melekat penat, mengikat keringat di badan dengan pakaian. Jalan kampungku yang dulu berbatu kini telah halus teraspal, angin yang bertiup sedang menghempas pasir-pasir kecil di pinggir jalan. Rumah-rumah tetangga masih seperti tiga tahun dulu, masih sederhana dengan pohon rambutan yang menghiasi halaman. Bengkel sepeda motor samping rumahku pun masih sama baunya, bau minyak rem dan oli khas bengkel kecil yang kala itu masih beberapa di kampungku. Keceriaan anak kecil yang berlarian dari sudut rumah satu ke sudut rumah yang lain bermain petak umpet menyambutku pulang setelah dua tahun pergi.
Bel sepeda Pak Trimo, tetanggaku yang juga bekerja sebagai pengantar koran membuyarkan kahayalan indahku tentang kampung Kuripan ini.

“Mas Arya ya?” sambil memberhentikan sepeda onthel
di sampingku dan melempar senyumnya hingga terlihat salah satu gigi peraknya.
“ nggih pak” jawabku dengan senyum kecil sambil berjabat tangan.
“ dari mana saja tho mas, kok baru kelihatan sekarang?, bajunya juga rapi, seperti pegawai saja,hehehe”
“ Arya melanjutkan sekolah di Surabaya pak, nderek bapak yang pindah tugas di sana.”
“ berarti pak Atmojo sekarang kerja di Suroboyo ya mas?” Tanya pak Trimo sambil membetulkan kaca matanya yang melorot.
“ sampun mboten, bapak dipindahkan lagi ke Tanjung Mas pak, tempat kerja bapak dari Arya masih kecil.”
“ owh.. begitu, nggih pun pak Trimo tak nganter koran sore dulu ke tempat pak Lurah ya mas, yang krasan di rumahnya sendiri….. hehehe”pamit pak Trimo dengan senyumnya yang khas itu.
“nggih, monggo pak” jawabku singkat.

Bertemu pak Trimo, seperti mengulang kenangan masa lalu. Dulu aku yang selalu mengambilkan Koran antaran dari pak Trimo untuk bapak. Kadang bapak mengajak pak Trimo mampir ke rumah untuk sekadar minum teh atau kopi susu jahe kesukaannya, sekadar bergurau berbincang berita-berita yang ada di Koran yang mereka baca bersama. Bagi bapak, pak Trimo adalah orang yang lucu dan bisa menghibur. Kata bapak, pak Trimo adalah teman yang ceria bisa menghibur semua orang yang ada di sekitarnya. Sewaktu ibu meninggal, pak Trimo lah teman bapak yang paling akhir menemani bapak di rumah. Karakter yang unik dan menyenangkan adalah kalimat terakhir bapak untuk menggambarkan sosok pak Trimo, sewaktu ku tanya mengenai pak Trimo dulu, sebelum pindah ke Surabaya.
Tas ransel di punggungku seperti mengajakku untuk masuk ke sebuah rumah, yang sebelumnya hanya ku pandangi dari tepi jalan. Ukiran kayu khas jepara yang menempel di dinding luar rumah masih tak berubah. Cat coklat yang menempel di tembok telah sedikit mengelupas. Pohon rambutan yang dulu tingginya sama denganku sekarang sudah melebihi tinggi atap rumah tetangga sebelah. Rumput-rumput kecil tumbuh padat merata di halaman, mengitari rumah masa kecilku ini. Jalan setapak berkerikil di halaman untuk masuk rumah, terlihat becek. Genangan airnya belum kering usai hujan tadi siang. Yang paling membujukku untuk masuk adalah suasana dalam ruangan yang sejuk, seperti memupuk rasa tentram hati ketika bersantai di sudut ruangan tengahnya, dengan duduk di dekat jendela bersandar di kursi peninggalan eyang, rasanya hidup yang berat bisa terasa lebih santai. Suasana itu seperti terapi penghilang stres alami bagiku , tentunya ala rumah idaman bapak.
Begitu masuk, pandanganku seketika tertuju pada sudut kanan rumah, tempat kursi eyang itu berada. Ku alihkan pandangan ke sudut kiri rumah, kamar tidurku yang mungil masih tepat ditempat.
“assalamualaikum…..” ku ucap salam sambil mengetuk pintu.
“walaikumsalam….” Terdengar suara wanita dari balik pintu ruangan tengah.
“Arya?” tanya eyang agak heran, seperti tak percaya dengan kedatanganku.
“nggih eyang putri” jawabku sembari tersenyum dan bergegas mencium tangan nenek.
“ gimana kabarnya le, tumben pulang ke Kuripan?”
“ Arya baik-baik saja, Eyang pripun?. pulang ke sini pengen nengok eyang sama dek Evi kok, Arya terakhir di sini kan 2 tahun lalu, jadi merasa kangen dengan suasana rumah dan kampung Kuripan”
“ istirahat dulu le, eyang ambilkan minum”
“inggih…”jawabku singkat sembari meletakkan tas ranselku di kursi.
Benar-benar belum begitu berubah rumahku ini, tiang penyangga rumah yang dulu sering aku gambari masih utuh dengan gambar warna warni khas anak kecil. Jam dinding klasik kesayangan eyang kakung juga masih terpajang rapi di sudut ruang tamu. Foto-foto saat keluarga masih lengkap tinggal di rumah ini pun masih utuh ditempat. Hanya yang agak berubah di bagian halaman yang pohon-pohonnya telah tumbuh lebat dan rumputnya kurang terpelihara dan tumbuh dimana-mana.
Hal ini bisa dimaklumi, karena yang tinggal di rumah hanya Eyang putri dan adikku Evi yang masih SD yang biaya hidupnya bergantung pada kiriman uang Bapak dan Bu lek yang di Bandung.
“Arya, Eyang buatkan teh poci hangat kesukaanmu, di minum ya….”suruh eyang sembari meletakkan cangkir di meja sampingku.
“inggih eyang putri…..”jawabku singkat sambil memegangi cangkir, khawatir tumpah kara eyang meletakkanya di tepi meja.
“Eyang ke belakang dulu nang, masaknya belum rampung, kenang istirahat dulu”
“inggih…”jawabku singkat dengan ku akhiri dengan senyum.
Sedikit aneh rasanya dan seperitnya aku salah tingkah bertemu eyang putri, terasa sedikit asing saja dengan nenek yang sejak kecil mengasuhku di rumah ini sepeninggal almarhum ibu. Beliau memandangku dengan pandangan yang sayu, serasa ingin memanjakan diriku yang telah lama tak ditemuinya. Kulitnya yang keriput, tetap terlihat lebih segar ketika senyumnya terkembang.
Setelah istirahat beberapa menit menikmati suasana rumah dari sudut kursi peninggalan eyang kakung, dengan ditemani segelas the poci buatan eyang, aku berkeliling rumah, mencoba menikmati kenangan yang selama dua tahun ini hanya terangan di pikiran. Selangkah demi selangkah, aku menjejakkan diri di hampir seluruh lantai yang tersusun dari kayu-kayu jati.
Angin sore menambah rasa kerinduan kepada kampung halaman, serasa kembali menjadi seorang anak kecil yang berkeliaran di halaman dan di belakang rumah, yang bermain kejar-kejaran dengan ayah, yang menangis sendiri sebab larinya terantuk batu kerikil. Langit jingga yang kupandang mengisyaratkan sebuah kenangan yang sedikit terlupakan. Tentang bulan yang sedikit waktu lagi akan hinggap dan menggantikan warna jingga di dinding dunia, aku teringat kala sore yang menggurah hati itu.
Sore yang berhias hujan deras, sore yang di mana aku pertama kalinya melihat Ranti diam seribu bahasa ketika ku utarakan niatku untuk meninggalkan kota ini. Sungguh begitu ingin menangis hati ini ketika ingatan itu tak sengaja memenuhi pikiranku sesaat. Tapi untuk kali ini, aku sengaja untuk mengingatnya. Janji itu terlanjur terucap dalam hatiku, untuk kembali bertemu Ranti selepas kerja dari kapal.
“kenang…kenang…”eyang putri memanggil dari dalam rumah.
“ Arya di belakang rumah Yang….”jawabku setengah teriak.
Suara eyang yang memanggil dari dalam rumah memaksaku untuk mengakhiri sapaan khayalku kepada Ranti.
“makan dulu… sudah eyang buatkan sayur bayam dan pecel lele kesukaanmu” suruh eyang sambil melambaikan tangan tanda memanggilku.
“ adikmu Evi sampun pulang nang… “ lanjut eyang setelah tak mendengar jawabanku.
Aku kembali ke rumah memenuhi panggilan eyang, yang tidak suka masakannya tak disentuh sedikitpun.
“Mas Arya…..!!!” teriak girang Evi, ketika melihat aku muncul dari balik pintu belakang rumah.
Ku jawab teriakan itu dengan senyum kecil yang menandakan kegembiraan bertemu dengan adik yang dulu mungil, kini sudah beranjak dewasa. Evi memeluk erat badan yang rasanya masih pegal ini, selepas menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari Surabaya dengan kapal laut.
Cerita-cerita yang lucu dari mulut dek Evi memecah kesunyian yang aku dapatkan semenjak masuk rumah. Tawa dan candanya menghiasi sore hariku yang lumayan begitu mengesankan.
Adzan magrib mushola yang tak jauh dari rumah memanggilku untuk kembali menjalani rutinitas sewaktu kecil.
Menjadi muadzin kecil dengan ikut eyang kakung yang kadang menjadi imam di mushola.
****
Malam yang megah datang menggugah lelapku, mengeringkan mimpi yang yang menggenang di alam bawah sadarku. Langit hitam yang terhampar di luar rumah, memaksaku memotong mimpi panjang yang sia-sia terbuang. Tentang cita-cita, keluarga, tentang bapak, ibu, eyang kakung dan eyang putri, dek Evi dan tentang Ranti yang entah kapan lagi bisa ku temui.
Ranti yang kini telah terbang, membungkus diri dalam keranjang dan dikirim kilat ke negeri seberang, entah kapan dia pulang membunuh rindu dan penantian tak berpalang. Inikah yang ku sebut “diriku” sebagai “Penikmat Malam”? ini belum terjawab dan tampaknya aku masih seperti dulu. Masih disebut “Penikmat Malam Belum Menyentuh Bulan”.

TAMAT

Tentang Penulis
WAHYU LANGGENG PRASTIYO,
lahir di Grobogan tanggal 10 Juli 1989. mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Menulis karya sastra, khususnya puisi adalah hal yang paling menyenangkan baginya, tapi pada kali ini dia ingin merambah ke dunia sastra yang lain yaitu novel.
Pria yang pernah aktif menjadi Fungsionaris Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia ini, telah menelurkan Kumpulan Puisi “Penikmat Malam”. “Pesan Suami Liar” dalam Sebuah Antologi Puisi, Cerpen dan Drama dan “Pesan Suami Liar Dalam Kumpulan Puisi: Nakal”. Novel “Penikmat Malam Menyentuh Bulan” adalah edisi pertama dari Trilogi Novel “Menembus Angan” yang direncanakan selesai ketika Ia akam lulus kuliah nanti.

Selasa, 18 Mei 2010

Fatamorgana Kebahagiaan

melaut hatiku menciut
menguntit baut yang semakin mengrucut
melemahkan panca indra yang tercancang maut

aduhai sungguh nikmat,
belaian dari yang berhasrat
cuma takut aku sekarat
menerima bahagia yang terlumat
dan hanya bayang yang hanya menjilat

Minggu, 09 Mei 2010

Menggurah Asa

kesempatan mengundang suasana
menumpas rantas bekas di dada
mengiring gembala pagi buta
pulang ke rumah yang tiada dua

aku mengelus menghela
mendengar rakcak gemericik hujan yang perlahan reda

aku menuding merinding
menambal peri yang tengah mereda

dan harapan kembali menumpang menjala
dan kembali sapa menggurah asa

Jumat, 19 Maret 2010

Cover Pesan Suami Liar

PESAN SUAMI LIAR




Tuan Gila Cinta yang Menawan

Dan usailah penantian
Dia, dia, dia dan dia
Menurut padaku
Pada kepalsuan yang aku tawarkan

Mereka aku tawan
Dan asyiknya tak melawan
Bisa kumainkan
Sisi- sisinya perawan
Olehku sang pejantan
Tuan gila cinta yang menawan





Pesan Suami Liar

Sayang,
Malam ini aku tak pulang
Uangku ku gadaikan
Di belahan dada
Di pangkal paha
Gadis diskonan pinggir jalan

Sayang,
Nanti pagi aku baru pulang
Libidoku tertinggal
pada mamah nakal
pada tante yang sakit gatal
Butuh obat dariku yang binal

sayang,
mungkin juga besok sore aku
baru datang
isi celanaku terbawa
pada dua wanita
pada dekapan janda yang mengaku perawan desa

Sayang,
Sudah dulu,
Aku terburu nafsu
Ingin mencicipi susu











Jawaban Istri Setia

Mas,
Kapanpun kau pulang
Aku tega menendang
Burungmu yang terbang
Menempel di kembang ilalang

Mas,
Jika kau telah pulang
Aku akan racikan
Racun bisa mematikan
Ku pastikan kau merasakan





Rona Kemukus

Terlena matanya
Membungkus rona kemukus
Begitu perangainya halus

Aku mengaku,
Aku gila dalam tulus









Ketika Tak Kuasa
Kisah tragis seorang teman

Sudahi aku….
Ku telah meracun

Ku jangkitkan vaksin-vaksin kematian
Dengan tarian sperma-sperma kecilku
yang tumbuh menggerutu di rahimmu

sebenarnya,
mereka tak ingin lepas dari kandung kemihku

sudahi aku…
ku telah membisa

ku tuangkan liur-liur neraka
dengan bengisnya otot-otot pemaluku
yang merasuk masuk menusuk perutmu

tapi sebenarnya,
mereka tak ingin lepas dari tulang rusukku













Aku Berhenti dari …

Kusebar bedak-bedakku
Kuserut gincu-gincuku,
Kubuang penyangga payudaraku
Kucoba bergagah sesuai kelaminku

Kuberharap dipecat dari penjual nafsu








Pitam

Kelengkeng kecil bernoktah hitam
Menyela tenggorokan
Seketika itu pula,
Aku tersedak
Dak,
Dak,
Aku melihat
Setan itu masuk,
Membelaimu penuh nafsu
Kelemahanmu membuatku pitam






Nyanyian Iblis

Dia kubelai dengan roman-roman kemunafikan
Dengan tangan beringas bekakas kurang waras

Dia kumaki dengan sajak-sajak kemunkaran
Dengan lidah kalengan setengah terperban

Dia kutusuk dengan raut-raut kesesatan
Dengan tanduk cula belanga setan

Dia kusiksa dengan desah-desah kedzoliman
Dengan cemeti-cemeti peluntur iman

Dia akan jadikan pelapis dinding neraka




Hati:“Puas Sesaat”

Sengatanku melumpuhkan daya imaji
Menjelma raksasa syaiton menggegam tanganmu erat
Perekat meleleh putih merintih
Meminjam kenikmatan
Sepihak diantara kau dan aku,

Tak jelas mana timur dan barat
Hanya nafas yang mengerat
Seperti menggigit rusa yang jatuh sekarat

Kata dalam hati “puas sesaat”
Tak jadi lagi bila tak ada sepakat
Antara lalatmu dan kumbangku yang sering telat





Meng “itu”ku

Kemarin aku lihat “itu” diantara “itu” milikmu
Sedikit berkilau kematian,
Sedikit berbau kemesuman
Tapi cuma sebentar

“itu” nya mirip sebuah “itu” miliknya
Sedikit beda kelir dan bentuknya

Barusan aku lihat “itu” lagi di milikmu
Sedikit menggoda
Mengganga pula
Tapi lama benar

“itu”nya menarik perhatian “itu” yang milikku
Sulit mengendalikan “itu” memang
“itu”mu memang “itu”
Meng”itu”ku….

“itu”ku cuma ingin berkata:
-------“buka “itu”mu.
-------“bukalah sedikit “itu”mu
-------“sehingga “itu”ku bisa bisa melihat “itu”
Ha..ha…
Aku suka “itu” milikmu yang mengelus “itu” milikku


Belahan Pribadi

Bercabang-cabang kini pribadiku
Belahannya tak seimbang
Berat dikanan, tak ringanpun di kiri

Yang satu ingin memandangnya
Yang dua seperti ingin menamparku

Yang sana mengajakku berselimut bersama wanita
Yang sini mengajakku bersajadah bersama pria

Satu dan dua mengancam perang padaku
Menguliti sendi-sendi iman
Yang sekian lama terdiam
Dengan kesabaran sudah termakan




Kisah Malam Nanti

Selamat malam…
Perempuan dari surga dunia yang ternikmat
Mohon maaf…
Tak sengaja aku remas kesadaranmu
Terlampau haus menggila rakus
Aku terhadapmu

Mohon maaf…
Malam nanti aku ulangi
Ketajaman lidahku merayumu lagi
Dengan membuat birahimu tidur bersamaku
Berguling bergeliat diatas mantel diranjangku

Sekali lagi, mohon maaf…
Untuk perempuan bidadari khayangan
Yang meriang jika tidak diingatkan


Perampok Nyonya

Desing rampasan perampok tadi
Pesingnya kencing golok dileher nyonya
Sepusing mata-mata tajam disekitar

Dengan mengeja segala arah
Perampok tadi menyandra Anda
Nyonya,
Nyonya tua yang masih beri gairah

Tak jadi tergores kulit Anda
Nyonya,
Perampoknya tengah berliur pada Anda
Nyonya,
Ketahuilah para perampok suka Anda Nyonya,
Tinggal nyonya saja yang ingin pasrah
Pada nafsu perampok
Atau parah di tangan si golok

Sisipan dari Luar

Cek,
Cek,
Cek,
Ku beli plastik perekat
Ku pakai agak ketat
Di balik pantat

Cup,
Cup,
Cup,
Kau jangan takut
Kau bisa balut
Di dekat mulut

Cak,
Cak,
Cak,
Ku tarik sampai ke atas
Ku pegang agak panas
Di tahan pasti puas

Huh,
Hu,
Huh,
Kau jangan diam
Sepertilah kapal selam
Dan jangan bungkam

Ha,
Ha,
Ha,
Bukalah setengah
Biar ku terengah
Bebaslah pasrah

Sip,
Sip,
Sip,
Tersaji siap santap
Paling sedap
Dan akan termakan lahap

Dam,
Dam,
Dam,
Pas untukku yang tak bisa puas
Mengemas nafsu untuk tidak ikhlas











Sesaat Saat Sebelum Tidur

Ngantuk, terbatuk-batuk
Terantuk gebuk-gebuk virus insomnia
Mengancam ucapan manusia disampingku
Yang mengancam memotong lidahnya untukku
Karena lidah itu mengagali jasad terbinal dalam rohku
Ku pernah relakannya untukmu, tetapi tidak untuk sekarang
Saat inilah, bedaku membuat sakau lidahmu yang semoga bisa kelu
Ketika membongkar peti di hati yang rapi dengan bungkus yang halus lurus
Menyediakan kata-kata dari hatimu memutus rangkaian keringnya dahan pengait sakit
Yang tiada akan lama lagi menyamai sisi darimu yang membayang nafas ruang hampa padaku
Sisihkan tanganmu untuk mencekikku wahai wanita malamku…



Berzina dengan Mata Hati

Berlinang-linang tangisnya meradang
Menyandang sakit yang sengaja menjepit
Mata-matanya mulai liar
Mengancam pelampiasanku sambil mengejar
Ku tolak pinta pada neraka
Sebab ku tahu kuberzina dengan mata hatinya
Yang tandus tak pernah kena urus
Aku merasa bersalah.
Pada nona di hatiku








Koleksi Nafsu

Ku hitung dari satu sabu
Dua, layaknya neraka
Tiga, sampai pada kata tega
Empat, sekarang lagi kurang sempat
Lima, rupa-rupa warnanya
Enam, memang pernah terbenam
Tujuh, pernah serasa jauh
Delapan, sering beri aku dekapan
Sembilan, rasa sembilu pernuh perlahan
Sepuluh, aduh….
Sebelas, tak ada kata puas
Dua belas, tiada kata bekas

Hmm…..
Ternyata lengkap satu dosin pelacurku…



Presentasi Menjual Diri

Dan yang mana yang terpilih?
Pekat lorong berlendir
Jentik-jentik menjadi alas
Para pemuas nafsu na’as
Mengadu hati berharap sakti
Bisa menghasilkan uang sendiri

Mereka buka belahan
Sedikit menyingkap rok bawahan
Menggoda merayap melirik centil
Seperti tak menolak jika akan dihajar kasar
Dengan catatan kantung penuh cetakan bank

Bergeser ke arah seberang
Masih sama…
Di sana hanya cermin-cermin kehidupan yang bernanah
Panjang tak kenal arah
Dan tak tahu kapan berakhir
presentasi menjual diri


WAHYU LANGGENG PRASTIYO, lahir di Grobogan, 10 Juli 1989, mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Pernah menelurkan “Penikmat Malam” Kumpulan Puisi dan “Pesan Suami Liar” dalam Sebuah Antologi Puisi, Cerpen dan Drama sebagai aktualisasi dalam bersastra.
Pesan Suami Liar Dalam Kumpulan Puisi “Nakal” mencoba melebarkan wilayah sastra panutan di Indonesia.

Kamis, 28 Januari 2010


Pesan Suami Liar

Dalam Kumpulan Puisi “nakal”

Tuan Gila Cinta yang Menawan

Pesan Suami Liar

Jawaban Istri Setia

Rona Kemukus

Ketika Tak Kuasa

Aku Berhenti dari

Pitam

Nyanyian Iblis

Hati:“Puas Sesaat”

Meng “itu”ku

Belahan Pribadi

Kisah Malam Nanti

Perampok Nyonya

Sisipan dari Luar

Sesaat Saat Sebelum Tidur

Berzina dengan Mata Hati

Koleksi Nafsu

Wahyu Langgeng Prastiyo 2009

Tuan Gila Cinta yang Menawan

Dan usailah penantian

Dia, dia, dia dan dia

Menurut padaku

Pada kepalsuan yang aku tawarkan

Mereka aku tawan

Dan asyiknya tak melawan

Bisa kumainkan

Sisi- sisinya perawan

Olehku sang pejantan

Tuan gila cinta yang menawan

Pesan Suami Liar

Sayang,

Malam ini aku tak pulang

Uangku ku gadaikan

Di belahan dada

Di pangkal paha

Gadis diskonan pinggir jalan

Sayang,

Nanti pagi aku baru pulang

Libidoku tertinggal

pada mamah nakal

pada tante yang sakit gatal

Butuh obat dariku yang binal

sayang,

mungkin juga besok sore aku

baru datang

isi celanaku terbawa

pada dua wanita

pada dekapan janda yang mengaku perawan desa

Sayang,

Sudah dulu,

Aku terburu nafsu

Ingin mencicipi susu

Jawaban Istri Setia

Mas,

Kapanpun kau pulang

Aku tega menendang

Burungmu yang terbang

Menempel di kembang ilalang

Mas,

Jika kau telah pulang

Aku akan racikan

Racun bisa mematikan

Ku pastikan kau merasakan

Rona Kemukus

Terlena matanya

Membungkus rona kemukus

Begitu perangainya halus

Aku mengaku,

Aku gila dalam tulus

Ketika Tak Kuasa

Kisah tragis seorang teman

Sudahi aku….

Ku telah meracun

Ku jangkitkan vaksin-vaksin kematian

Dengan tarian sperma-sperma kecilku

yang tumbuh menggerutu di rahimmu

sebenarnya,

mereka tak ingin lepas dari kandung kemihku

sudahi aku…

ku telah membisa

ku tuangkan liur-liur neraka

dengan bengisnya otot-otot pemaluku

yang merasuk masuk menusuk perutmu

tapi sebenarnya,

mereka tak ingin lepas dari tulang rusukku

Aku Berhenti dari …

Kusebar bedak-bedakku

Kuserut gincu-gincuku,

Kubuang penyangga payudaraku

Kucoba bergagah sesuai kelaminku

Kuberharap dipecat dari penjual nafsu

Pitam

Kelengkeng kecil bernoktah hitam

Menyela tenggorokan

Seketika itu pula,

Aku tersedak

Dak,

Dak,

Aku melihat

Setan itu masuk,

Membelaimu penuh nafsu

Kelemahanmu membuatku pitam

Nyanyian Iblis

Dia kubelai dengan roman-roman kemunafikan

Dengan tangan beringas bekakas kurang waras

Dia kumaki dengan sajak-sajak kemunkaran

Dengan lidah kalengan setengah terperban

Dia kutusuk dengan raut-raut kesesatan

Dengan tanduk cula belanga setan

Dia kusiksa dengan desah-desah kedzoliman

Dengan cemeti-cemeti peluntur iman

Dia akan jadikan pelapis dinding neraka

Hati:“Puas Sesaat”

Sengatanku melumpuhkan daya imaji

Menjelma raksasa syaiton menggegam tanganmu erat

Perekat meleleh putih merintih

Meminjam kenikmatan

Sepihak diantara kau dan aku,

Tak jelas mana timur dan barat

Hanya nafas yang mengerat

Seperti menggigit rusa yang jatuh sekarat

Kata dalam hati “puas sesaat”

Tak jadi lagi bila tak ada sepakat

Antara lalatmu dan kumbangku yang sering telat

Meng “itu”ku

Kemarin aku lihat “itu” diantara “itu” milikmu

Sedikit berkilau kematian,

Sedikit berbau kemesuman

Tapi cuma sebentar

“itu” nya mirip sebuah “itu” miliknya

Sedikit beda kelir dan bentuknya

Barusan aku lihat “itu” lagi di milikmu

Sedikit menggoda

Mengganga pula

Tapi lama benar

“itu”nya menarik perhatian “itu” yang milikku

Sulit mengendalikan “itu” memang

“itu”mu memang “itu”

Meng”itu”ku….

“itu”ku cuma ingin berkata:

-------“buka “itu”mu.

-------“bukalah sedikit “itu”mu

-------“sehingga “itu”ku bisa bisa melihat “itu”

Ha..ha…

Aku suka “itu” milikmu yang mengelus “itu” milikku

Belahan Pribadi

Bercabang-cabang kini pribadiku

Belahannya tak seimbang

Berat dikanan, tak ringanpun di kiri

Yang satu ingin memandangnya

Yang dua seperti ingin menamparku

Yang sana mengajakku berselimut bersama wanita

Yang sini mengajakku bersajadah bersama pria

Satu dan dua mengancam perang padaku

Menguliti sendi-sendi iman

Yang sekian lama terdiam

Dengan kesabaran sudah termakan

Kisah Malam Nanti

Selamat malam…

Perempuan dari surga dunia yang ternikmat

Mohon maaf…

Tak sengaja aku remas kesadaranmu

Terlampau haus menggila rakus

Aku terhadapmu

Mohon maaf…

Malam nanti aku ulangi

Ketajaman lidahku merayumu lagi

Dengan membuat birahimu tidur bersamaku

Berguling bergeliat diatas mantel diranjangku

Sekali lagi, mohon maaf…

Untuk perempuan bidadari khayangan

Yang meriang jika tidak diingatkan

Perampok Nyonya

Desing rampasan perampok tadi

Pesingnya kencing golok dileher nyonya

Sepusing mata-mata tajam disekitar

Dengan mengeja segala arah

Perampok tadi menyandra Anda

Nyonya,

Nyonya tua yang masih beri gairah

Tak jadi tergores kulit Anda

Nyonya,

Perampoknya tengah berliur pada Anda

Nyonya,

Ketahuilah para perampok suka Anda Nyonya,

Tinggal nyonya saja yang ingin pasrah

Pada nafsu perampok

Atau parah di tangan si golok

Sisipan dari Luar

Cek,

Cek,

Cek,

Ku beli plastik perekat

Ku pakai agak ketat

Di balik pantat

Cup,

Cup,

Cup,

Kau jangan takut

Kau bisa balut

Di dekat mulut

Cak,

Cak,

Cak,

Ku tarik sampai ke atas

Ku pegang agak panas

Di tahan pasti puas

Huh,

Hu,

Huh,

Kau jangan diam

Sepertilah kapal selam

Dan jangan bungkam

Ha,

Ha,

Ha,

Bukalah setengah

Biar ku terengah

Bebaslah pasrah

Sip,

Sip,

Sip,

Tersaji siap santap

Paling sedap

Dan akan termakan lahap

Dam,

Dam,

Dam,

Pas untukku yang tak bisa puas

Mengemas nafsu untuk tidak ikhlas

Sesaat Saat Sebelum Tidur

Ngantuk, terbatuk-batuk

Terantuk gebuk-gebuk virus insomnia

Mengancam ucapan manusia disampingku

Yang mengancam memotong lidahnya untukku

Karena lidah itu mengagali jasad terbinal dalam rohku

Ku pernah relakannya untukmu, tetapi tidak untuk sekarang

Saat inilah, bedaku membuat sakau lidahmu yang semoga bisa kelu

Ketika membongkar peti di hati yang rapi dengan bungkus yang halus lurus

Menyediakan kata-kata dari hatimu memutus rangkaian keringnya dahan pengait sakit

Yang tiada akan lama lagi menyamai sisi darimu yang membayang nafas ruang hampa padaku

Sisihkan tanganmu untuk mencekikku wahai wanita malamku…

Berzina dengan Mata Hati

Berlinang-linang tangisnya meradang

Menyandang sakit yang sengaja menjepit

Mata-matanya mulai liar

Mengancam pelampiasanku sambil mengejar

Ku tolak pinta pada neraka

Sebab ku tahu kuberzina dengan mata hatinya

Yang tandus tak pernah kena urus

Aku merasa bersalah.

Pada nona di hatiku

Koleksi Nafsu

Ku hitung dari satu sabu

Dua, layaknya neraka

Tiga, sampai pada kata tega

Empat, sekarang lagi kurang sempat

Lima, rupa-rupa warnanya

Enam, memang pernah terbenam

Tujuh, pernah serasa jauh

Delapan, sering beri aku dekapan

Sembilan, rasa sembilu pernuh perlahan

Sepuluh, aduh….

Sebelas, tak ada kata puas

Dua belas, tiada kata bekas

Hmm…..

Ternyata lengkap satu dosin pelacurku…

Presentasi Menjual Diri

Dan yang mana yang terpilih?

Pekat lorong berlendir

Jentik-jentik menjadi alas

Para pemuas nafsu na’as

Mengadu hati berharap sakti

Bisa menghasilkan uang sendiri

Mereka buka belahan

Sedikit menyingkap rok bawahan

Menggoda merayap melirik centil

Seperti tak menolak jika akan dihajar kasar

Dengan catatan kantung penuh cetakan bank

Bergeser kea rah seberang

Masih sama…

Di sana hanya cermin-cermin kehidupan yang bernanah

Panjang tak kenal arah

Dan tak tahu kapan berakhir

presentasi menjual diri

WAHYU LANGGENG PRASTIYO, lahir di Grobogan, 10 Juli 1989, mahasiswa Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

Pernah menelurkan “Penikmat Malam” Kumpulan Puisi dan “Pesan Suami Liar” dalam Sebuah Antologi Puisi, Cerpen dan Drama sebagai aktualisasi dalam bersastra.

Pesan Suami Liar” Dalam Kumpulan Puisi Nakal mencoba melebarkan wilayah sastra panutan di Indonesia.